Pariwisata

Standarisasi Kompetensi SDM Pariwisata Indonesia: Evaluasi, Tantangan, dan Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025


Mengapa Standarisasi Kompetensi Pariwisata Penting untuk Indonesia?

Industri pariwisata Indonesia telah menjadi salah satu sektor prioritas nasional, berkontribusi signifikan terhadap PDB, penciptaan lapangan kerja, dan devisa negara. Namun, di balik pesatnya pertumbuhan pariwisata, kualitas sumber daya manusia (SDM) justru belum mampu mengikuti laju perkembangan industri. Standarisasi kompetensi, melalui sistem SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia), diharapkan menjadi solusi strategis untuk meningkatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia di tingkat nasional maupun internasional.

Artikel ini mengupas secara kritis hasil penelitian Sukma Yudistira (2022) tentang implementasi standarisasi kompetensi SDM pariwisata Indonesia dalam pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi. Dengan menampilkan studi kasus, data faktual, serta membandingkan dengan tren global dan praktik negara lain, artikel ini bertujuan memberikan insight strategis bagi pelaku industri, pendidik, dan pembuat kebijakan pariwisata.

Latar Belakang: Ketimpangan Kompetensi di Tengah Pertumbuhan Industri

Fakta Industri

  • Peningkatan daya saing pariwisata Indonesia belum diikuti oleh peningkatan kualitas SDM secara signifikan.
  • Sistem SKKNI telah diterapkan sejak 2012, namun pertumbuhan SDM kompeten masih sangat lambat.
  • Salah satu kekhawatiran utama: keterbatasan jumlah trainer, asesor, fasilitas, dan lembaga pendidikan/pelatihan/sertifikasi.

Realitas di Lapangan

  • Banyak pekerja pariwisata berasal dari latar belakang pendidikan non-vokasi.
  • Industri masih sering merekrut pekerja tanpa sertifikasi atau pelatihan khusus.
  • Hanya sekitar 20% tenaga kerja hotel dan akomodasi yang berlatar belakang pendidikan vokasi pada 2014–2018.

Kerangka Sistem SKKNI: Dari Regulasi ke Implementasi

Apa Itu SKKNI?

SKKNI adalah sistem nasional yang mengatur pengembangan, implementasi, harmonisasi, pembinaan, dan pengawasan standar kompetensi kerja di Indonesia. Dalam konteks pariwisata, SKKNI mengacu pada kebutuhan industri dan mengadopsi standar regional (ASEAN Common Competency Standard for Tourism Professionals/ACCSTP) serta internasional.

Pilar Utama Implementasi SKKNI

  1. Pendidikan dan Pelatihan
    • Formal: SMK pariwisata, program studi vokasi di perguruan tinggi, akademi, dan politeknik.
    • Non-formal: Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), pelatihan berbasis kompetensi.
  2. Sertifikasi Kompetensi
    • Dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang berlisensi BNSP.
    • Sertifikat kompetensi menjadi bukti kelayakan kerja dan alat ukur standar industri.

Studi Kasus & Data Kunci: Potret Implementasi SKKNI di Indonesia

1. Pendidikan dan Pelatihan Vokasi Pariwisata

  • Jumlah program studi vokasi aktif: 189 (mayoritas dikelola swasta, hanya 49 oleh pemerintah).
  • Jumlah SMK pariwisata: 2.138 sekolah (2021).
  • Pertumbuhan mahasiswa vokasi pariwisata: Naik 23% (2016–2017), 17% (2017–2018), namun turun 3% pada 2019.
  • Komposisi tenaga kerja hotel/akomodasi: Hanya 20% berlatar belakang vokasi, sisanya non-vokasi (80–85% lulusan SMA/SD).

2. Lembaga Pelatihan Kerja (LPK)

  • Jumlah LPK pariwisata: 198 (54 dikelola pemerintah, sisanya swasta).
  • Peran LPK: Memberikan pelatihan singkat berbasis kompetensi, lebih fleksibel dan murah dibanding pendidikan formal.

3. Sertifikasi Kompetensi

  • Jumlah tenaga kerja tersertifikasi (2019): 94.514 orang (naik 100% dibanding 2017–2018).
  • Jumlah LSP dan TUK: Mengalami lonjakan >100% pada 2018–2019.
  • Persentase tenaga kerja tersertifikasi: Hanya 2,3% dari total pekerja pariwisata (2017–2019).
  • Dampak sertifikasi: Indeks kemudahan mencari pekerja terampil naik dari 4,6 (2017) ke 4,9 (2019); indeks daya saing pariwisata naik dari 4,16 ke 4,3.

Analisis Kritis: Keberhasilan, Tantangan, dan Pembelajaran

Keberhasilan Implementasi SKKNI

  • Adopsi standar internasional: SKKNI mengadopsi ACCSTP dan diakui melalui ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals (MRA-TP).
  • Peningkatan jumlah tenaga kerja tersertifikasi: Lonjakan signifikan sejak 2018, terutama berkat kemudahan akses ke LSP dan TUK.
  • Kurikulum vokasi makin relevan: Banyak institusi pendidikan mulai mengintegrasikan SKKNI ke dalam kurikulum.

Tantangan Utama

  • Keterbatasan lembaga pendidikan dan pelatihan: Jumlah SMK, program studi vokasi, dan LPK masih jauh dari kebutuhan industri.
  • Dominasi pekerja non-vokasi: Industri masih merekrut lulusan non-vokasi, sehingga banyak pekerja tidak lulus uji kompetensi.
  • Rendahnya pengakuan industri: Banyak perusahaan belum menjadikan sertifikasi kompetensi sebagai syarat utama rekrutmen.
  • Independensi lembaga: Masih banyak LSP yang berada di bawah institusi pendidikan, menimbulkan potensi konflik kepentingan dalam penilaian.

Studi Kasus: Sertifikasi dan Karier di Industri Pariwisata

  • Seorang lulusan SMK pariwisata yang telah tersertifikasi lebih mudah diterima di hotel berbintang dan memiliki peluang karier lebih cepat.
  • Sebaliknya, pekerja berpengalaman tanpa sertifikasi seringkali kesulitan naik jabatan atau berpindah ke perusahaan internasional.
  • Banyak pekerja non-vokasi yang gagal dalam uji kompetensi karena tidak memiliki latar belakang pelatihan yang sesuai.

Perbandingan dengan Negara Lain: Praktik Baik dan Pembelajaran

Australia & Laos

  • Australia: Kurikulum pendidikan tinggi pariwisata belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan seringkali kurang siap kerja.
  • Laos: Kualitas pelatihan dan pendidikan pariwisata masih perlu peningkatan signifikan agar mampu memenuhi permintaan industri.
  • Turki: Pendidikan pariwisata dipandang krusial untuk daya saing nasional, namun tanpa manajemen SDM yang baik, manfaat ekonomi dan sosial tidak optimal.

ASEAN

  • ACCSTP & MRA-TP: Standar kompetensi pariwisata telah diakui lintas negara ASEAN, membuka peluang mobilitas tenaga kerja profesional di kawasan.
  • Tantangan harmonisasi: Tiap negara masih menghadapi kendala dalam menyesuaikan kurikulum, pelatihan, dan pengakuan sertifikat.

Implikasi untuk Industri dan Kebijakan

Rekomendasi Strategis

  1. Perluas akses pendidikan vokasi dan pelatihan
    • Tambah jumlah SMK, program studi vokasi, dan LPK di daerah-daerah wisata utama.
    • Berikan insentif bagi institusi swasta yang membuka program vokasi pariwisata.
  2. Perkuat kolaborasi industri-pendidikan
    • Bentuk forum bersama antara asosiasi industri, pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk sinkronisasi kurikulum dan kebutuhan pasar kerja.
    • Kembangkan program magang dan apprenticeship berbasis kebutuhan nyata industri.
  3. Tingkatkan kualitas dan independensi LSP
    • Pisahkan fungsi pelatihan dan sertifikasi agar penilaian kompetensi lebih objektif dan kredibel.
    • Tingkatkan jumlah asesor profesional, serta perbarui metode uji kompetensi sesuai perkembangan industri.
  4. Dorong pengakuan industri terhadap sertifikasi
    • Jadikan sertifikat kompetensi sebagai syarat utama dalam rekrutmen dan promosi jabatan.
    • Berikan insentif (misal, kenaikan gaji atau jenjang karier) bagi pekerja tersertifikasi.
  5. Optimalkan harmonisasi standar regional
    • Aktif dalam forum ASEAN untuk penyamaan standar dan pengakuan lintas negara.
    • Siapkan SDM Indonesia untuk bersaing di pasar kerja regional dan global.

Tren Global: Digitalisasi, Mobilitas, dan Kompetensi Masa Depan

  • Digitalisasi pelatihan dan sertifikasi: Platform online untuk pelatihan dan uji kompetensi semakin dibutuhkan, terutama pasca-pandemi.
  • Mobilitas tenaga kerja: Sertifikasi kompetensi yang diakui lintas negara membuka peluang karier internasional bagi SDM pariwisata Indonesia.
  • Kompetensi baru: Industri menuntut skill digital, hospitality management, bahasa asing, serta soft skills (komunikasi, problem solving, leadership).
  • Penguatan lifelong learning: Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan menjadi kunci adaptasi terhadap perubahan industri dan teknologi.

Opini dan Kritik: Standarisasi Kompetensi, Bukan Sekadar Formalitas

Penerapan SKKNI di sektor pariwisata Indonesia membuktikan bahwa standarisasi kompetensi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk meningkatkan daya saing SDM. Namun, tantangan terbesar adalah memperluas akses, meningkatkan kualitas lembaga pendidikan/pelatihan/sertifikasi, dan memastikan pengakuan industri terhadap sertifikat kompetensi.

Kritik utama terhadap implementasi saat ini adalah masih rendahnya jumlah tenaga kerja tersertifikasi dan dominasi pekerja non-vokasi. Selain itu, independensi lembaga sertifikasi perlu diperkuat agar hasil uji kompetensi benar-benar objektif. Indonesia juga harus belajar dari negara-negara tetangga dalam hal harmonisasi standar dan mobilitas tenaga kerja.

Kesimpulan: Menuju SDM Pariwisata Indonesia yang Kompeten dan Kompetitif

Standarisasi kompetensi melalui SKKNI telah menempatkan Indonesia pada jalur yang benar untuk meningkatkan kualitas SDM pariwisata. Namun, upaya ini perlu didukung oleh perluasan akses pendidikan vokasi, penguatan pelatihan, peningkatan jumlah dan kualitas LSP, serta pengakuan industri terhadap sertifikasi. Dengan demikian, Indonesia dapat menghasilkan SDM pariwisata yang tidak hanya kompeten di tingkat nasional, tetapi juga mampu bersaing di pasar global.

Sumber

Sukma Yudistira. (2022). "Competency Standardization for Indonesian Tourism Human Resources: Implementation in Education, Training and Competency Certification". Pusaka: Journal of Tourism, Hospitality, Travel and Business Event, Vol. 4, No. 2, 134-146.

Selengkapnya
Standarisasi Kompetensi SDM Pariwisata Indonesia: Evaluasi, Tantangan, dan Masa Depan
page 1 of 1