Mitigasi Bencana dan Keamanan Struktural

Pemetaan Tanah Pertanian Rawan Longsor di Sub DAS Samin Hulu

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Priyono dan Siswadi (2020) memulai artikel dengan menekankan bahwa tanah longsor adalah fenomena pergeseran massa material lereng yang dipicu berbagai faktor geologi dan hidrologi. Mereka mengutip konsep Suryolelono (2002) bahwa longsor merupakan cara alam mencari keseimbangan baru akibat gangguan, serta mekanisme slide pada lapisan kedap air (Hardiyatmo, 2006). Kerusakan lingkungan akibat longsor (baik fisik maupun sosial) dianggap penting untuk diminimalisir. Dalam konteks ini, penulis menyoroti kebutuhan dasar pemetaan lahan pertanian yang rentan longsor sebagai langkah awal mitigasi. Dengan latar teoretis tersebut, penelitian dirancang untuk mengidentifikasi kondisi biofisik (tanah, iklim, topografi, vegetasi, penggunaan lahan, pola usaha tani, demografi) yang memicu kerentanan longsor. Kerangka teori yang digunakan mencakup konsep kesesuaian lahan (FAO 1976; Anonim 2012), klasifikasi kerawanan longsor, serta teknik pemetaan spasial (misalnya overlay peta topografi, geologi, penggunaan lahan). Peta tematik kerawanan merupakan hasil pengelompokan lahan berdasarkan sifat kerawanan yang serupa, sesuai standar kartografi tanah (Hardjowigeno, 2007). Secara keseluruhan, artikel mendasari argumennya pada teori gerakan massa (longsor) dan metodologi pemetaan lahan, menegaskan bahwa peta kerawanan bentang lahan menjadi landasan perencanaan mitigasi yang kontekstual di Sub DAS Samin Hulu.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan pengumpulan data lapangan dan laboratorium. Data primer diperoleh melalui survai ke petani (observasi penggunaan lahan, sampling lapisan tanah) sedangkan data sekunder bersumber dari peta topografi, geologi, curah hujan dan lain-lain. Langkah penting adalah merancang overlay peta curah hujan, peta kemiringan, jenis tanah, rupa bumi dan penggunaan lahan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Selanjutnya dilakukan survei lapangan intensif untuk menentukan klasifikasi lahan pertanian rawan longsor. Total 60 unit peta lahan (SPL) dipilih dengan metode Key Area System sepanjang Sub DAS Samin. Setiap unit diteliti parameter fisik (curah hujan tahunan, persentase lereng, ketebalan solum tanah, kadar liat/pH, persen batuan inti di permukaan, dll) sesuai skala kerentanan yang ditetapkan (mis. Paimin & Sukresno 2007). Analisis kuantitatif kemudian dilakukan menggunakan perangkat lunak pssl.exe untuk mengkalkulasi skor kerentanan berdasarkan kombinasi parameter tersebut.

Kebaruan penelitian terletak pada integrasi data biofisik dan sosial-ekonomi khusus pada lahan pertanian di Sub DAS Samin Hulu untuk pemetaan longsor. Penulis menggabungkan analisis kualitas lahan pertanian (kesuburan, jenis tanaman, pola usaha tani) dengan analisis hazard fisik, sehingga kerawanan di lahan produksi ditetapkan berdasarkan gabungan faktor alam dan aktivitas manusia. Pendekatan ini relatif jarang ditemukan dalam literatur, yang biasanya fokus pada lahan permukiman atau infrastruktur. Selain itu, penelitian ini juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal dalam rekomendasi mitigasi (misalnya penyuluhan teknologi pertanian ramah lingkungan), yang menambah nilai kontekstual dan aplikatif dari metodologi yang digunakan.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Hasil penelitian mengungkap pola kerentanan longsor yang khas di Sub DAS Samin Hulu. Secara kuantitatif, tercatat 46 kejadian longsor di daerah tersebut. Analisis data menunjukkan sebagian besar longsor terjadi pada curah hujan tahunan 2000–3000 mm (56,52%) dan pada lereng moderat (16–25% berturut-turut 39,13%). Dari segi penggunaan lahan, 43,48% kejadian longsor terjadi pada lahan tegalan (lahan kering) – lahan yang banyak ditemui (60% dari lahan pertanian). Hal ini mengindikasikan bahwa tegalan yang sering dibuka untuk pertanian dengan konservasi minim lebih rentan longsor dibanding sawah atau kebun campuran. Dari sisi geologi, mayoritas kejadian (95,65%) terjadi di batuan andesit vulkanik, menunjukkan litologi keras namun kompak rendah mendukung longsor jenis slump. Hasil pemetaan tanah memperlihatkan jenis tanah dominan Latosol coklat kemerahan (41,30%) dan Andosol (28,26%), keduanya bercirikan tinggi lempung sehingga mudah jenuh. Ini konsisten dengan bencana longsor rotasional (slump), yang memang mendominasi temuan: 76,09% longsor tergolong slump (banyaknya luncuran tanah dalam bidang cekung). Tipe longsor lain (gabungan slump & rockfall, translasi, subsidence) relatif kecil proporsinya.

Temuan tersebut diinterpretasi sebagai konfirmasi bahwa kombinasi kemiringan sedang, curah hujan tinggi, dan lahan tanpa vegetasi kuat mendorong longsor rotasional di area pertanian Sub DAS Samin. Artinya, lahannya agak rawan hingga sangat rawan longsor jika dilihat dari parameter fisik-geomorfik yang dikaji. Penulis kemudian menyajikan peta kerawanan longsor tematik (Gambar 2) yang mengelompokkan risiko dari sangat rendah hingga sangat tinggi. Berdasarkan temuan itu, mereka mengusulkan mitigasi dua arah: non-struktural (penyuluhan IPTEKS kepada petani tentang teknik bertahan saat bahaya longsor dan penanaman tanaman konservasi) dan struktural (reboisasi, agroforestri, multiple cropping, pembangunan teras dan saluran air ramah lingkungan). Hal ini menunjukkan kontribusi penting: selain memetakan risiko fisik, penelitian ini memperkaya pemahaman mitigasi berbasis lanskap pertanian. Sebagai contoh, dominasi lahan tegalan membangkitkan rekomendasi konservasi lahan miring yang relevan dan relatif baru dibanding kajian sektoral lain. Secara keseluruhan, hasil kuantitatif studi ini – seperti persentase longsor per tipe lahan, degradasi tanah, dan pola curah hujan – menambah data lokal yang sebelumnya kurang tersedia, sehingga memberikan masukan empiris baru untuk literatur mitigasi longsor berbasis spasial pertanian.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Metodologi deskriptif yang diusung penulis memang cocok untuk studi eksplorasi kawasan terbatas, namun terdapat beberapa kelemahan analitis. Pertama, pendekatan penetapan skor kerentanan cenderung subjektif karena bobot tiap variabel (curah hujan, kemiringan, tataguna lahan, jenis tanah, dll.) tidak dijustifikasi dengan uji sensitivitas atau kalibrasi statistik. Sebagai contoh, dalam Tabel 5 tampak longsor translasi (hanya 4,35% kejadian) diberi skor lebih tinggi daripada slump (angkanya sebaliknya), suatu hal yang penulis tidak jelaskan motifnya. Kedua, validitas hasil peta tidak diuji dengan data independent – misalnya kros-verifikasi dengan kejadian longsor historis – sehingga akurasi spasial model tidak diketahui. Ketiga, sampel 60 satuan wilayah mungkin kurang mewakili heterogenitas morfologi dan sosial ekonomi Sub DAS Samin Hulu secara menyeluruh, mengingat luas kawasan. Keempat, pengunaan ArcView GIS 3.3 dan pssl.exe menunjukkan keterbatasan peralatan relatif lawas; belakangan riset kerawanan longsor lebih menggunakan platform open-source mutakhir atau metode kecerdasan buatan. Misalnya, studi terbaru oleh Abrar dkk. (2024) menerapkan machine learning dengan 16 faktor independen untuk memetakan kerawanan longsor dan membangun model mitigasi komprehensif. Penelitian Priyono & Siswadi juga tidak memanfaatkan analisis statistik inferensial apapun, sehingga kesimpulan terbangun hanya dari deskripsi pola tanpa pengujian hipotesis.

Secara hipotesis pun, studi ini lebih berfokus pencapaian tujuan pemetaan daripada menguji rumusan hipotesis eksplisit. Akibatnya, implikasi generalisasi penelitian belum jelas; model yang dihasilkan belum diuji di area lain. Kritik akademik juga perlu mencakup asumsi awal: penulis menyiratkan bahwa semua parameter diintegrasikan linier dalam skor, tanpa mendiskusikan korelasi antarvariabel atau heterogenitas data. Lebih lanjut, faktor eksternal seperti perubahan iklim (peningkatan intensitas hujan) dan aktivitas manusia terkini (mis. pembangunan jalan baru) tidak dibahas, padahal relevan untuk kewenangan mitigasi jangka panjang. Meski demikian, cakupan literatur yang digunakan relatif memadai untuk kerangka dasar, namun diskusi kritis atas metode maupun bandingan dengan studi lain kurang ditegaskan dalam teks.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Meskipun lokasinya spesifik, karya ini memiliki implikasi luas untuk riset mitigasi bencana dan pemetaan spasial. Peta kerentanan lanskap pertanian yang disajikan dapat menjadi rujukan awal bagi perencanaan tata guna lahan dan pengembangan early warning systems lokal. Penggabungan data agronomik dengan parameter hazard menegaskan arah riset mitigasi modern yang mensinergikan ilmu kebumian dan ilmu sosial. Kedepannya, pendekatan ini dapat diperkaya dengan teknologi terbaru: misalnya integrasi citra satelit dan drone untuk pemantauan lahan saat hujan ekstrem, pemodelan dinamis dengan machine learning, atau sistem informasi geografis interaktif. Hasil ini selaras dengan rekomendasi Badan Geologi terbaru yang menekankan adaptasi teknologi digital dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam menghadapi bencana geologi. Diseminasi temuan ini juga relevan untuk kebijakan mitigasi skala regional/ nasional, khususnya dalam perumusan Kawasan Rawan Bencana (KRB) berbasis peta kerawanan. Studi lanjutan sebaiknya menguji validitas model ini dengan data lapangan tambahan, mengkaji dinamika waktu (musiman) curah hujan dan penggunaan lahan, serta menskalakan metode ke daerah rawan longsor lainnya di Indonesia.

Referensi:
Priyono, H. & Siswadi. (2020). Pemetaan Tanah Pertanian Rawan Longsor di Sub DAS Samin Hulu Sebagai Bahan Mempertimbangkan Mitigasinya. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Selengkapnya
Pemetaan Tanah Pertanian Rawan Longsor di Sub DAS Samin Hulu

Mitigasi Bencana dan Keamanan Struktural

Mitigasi Cerdas Bencana Gempa: Analisis Potensi Kerusakan Bangunan Bertingkat di Yogyakarta

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 08 Mei 2025


Pendahuluan

Yogyakarta bukan hanya dikenal sebagai kota budaya dan pendidikan, tetapi juga sebagai kawasan yang berada dalam zona rawan gempa. Gempa bumi besar yang mengguncang wilayah ini pada tahun 2006 menjadi pengingat nyata betapa besar kerusakan yang dapat ditimbulkan jika mitigasi risiko struktural diabaikan.

Dalam konteks ini, artikel karya Eka Faisal Nurhidayatullah dan Dwi Kurniati menyajikan pendekatan mitigatif berbasis analisis potensi kerusakan pada bangunan bertingkat sedang di wilayah Yogyakarta. Tujuannya tidak hanya untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan bangunan, tetapi juga memberikan dasar ilmiah bagi strategi perencanaan bangunan tahan gempa.

Tujuan dan Signifikansi Studi

Studi ini berfokus pada:

  • Menganalisis potensi kerusakan bangunan bertingkat sedang yang lazim digunakan untuk fungsi komersial, perkantoran, atau pendidikan.

  • Menyusun skenario gempa dengan kekuatan ≥5 SR yang realistis berdasarkan potensi seismik wilayah Yogyakarta.

  • Memberikan gambaran tentang performa struktur bangunan dalam skenario gempa guna mendukung upaya mitigasi bencana berbasis data.

Dalam konteks perencanaan tata ruang dan bangunan, studi ini penting untuk menghindari kerugian besar yang bisa dicegah melalui perencanaan yang lebih baik.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode analisis struktur berbasis kinerja (performance-based seismic analysis) dengan simulasi gempa skenario. Beberapa langkah utama meliputi:

  • Pemodelan Struktur: Menggunakan SAP2000 sebagai perangkat lunak analisis struktur. Objek yang dikaji adalah bangunan bertingkat sedang dengan konstruksi beton bertulang.

  • Skenario Gempa: Simulasi dilakukan dengan skenario gempa ≥5 SR, yang dianggap sebagai ambang batas umum gempa menengah di wilayah tersebut.

  • Evaluasi Kerusakan: Kriteria kerusakan mengacu pada kriteria FEMA dan ATC-40 (pusat teknologi seismik AS), meliputi tingkat kerusakan ringan, sedang, hingga berat.

  • Parameter Penilaian: Fokus pada drift interstory, deformasi elemen struktur, serta gaya dalam struktur akibat beban gempa.

Hasil Temuan

Hasil analisis menunjukkan bahwa:

  • Drift antar lantai (interstory drift) melebihi batas aman pada beberapa lantai, terutama pada bagian tengah struktur. Ini mengindikasikan risiko kegagalan struktural saat terjadi gempa sedang.

  • Kerusakan dominan terjadi pada kolom dan balok pengikat, terutama di lantai dasar dan pertama, yang menerima gaya lateral tertinggi.

  • Beberapa bangunan dalam simulasi mengalami deformasi permanen yang menunjukkan potensi kegagalan parsial bahkan sebelum mencapai ambang gempa berat.

  • Dalam skenario 5,5–6 SR, lebih dari 60% struktur mengalami kerusakan sedang hingga berat jika tidak dilengkapi peredam atau sistem struktur tambahan.

Studi Kasus Nyata

Yogyakarta sudah memiliki pengalaman nyata dari gempa 2006. Berdasarkan data BNPB, lebih dari 150.000 bangunan mengalami kerusakan ringan hingga berat. Banyak bangunan bertingkat gagal secara struktural bukan karena kekuatan gempa ekstrem, tetapi karena kegagalan desain dan konstruksi.

Dalam studi ini, kejadian-kejadian tersebut dijadikan referensi untuk menguji keabsahan simulasi. Hal ini menunjukkan bahwa metode yang digunakan dalam paper cukup representatif untuk menangkap pola kerusakan nyata di lapangan.

Kelebihan dan Inovasi Studi

✅ Kelebihan:

  • Menggunakan perangkat lunak analisis struktur profesional (SAP2000), yang telah diakui luas dalam dunia teknik sipil.

  • Berbasis data skenario lokal yang sesuai dengan peta gempa Indonesia (SNI 1726-2012).

  • Menyediakan simulasi visualisasi kerusakan, yang penting untuk edukasi dan penyadaran risiko.

❌ Kekurangan:

  • Simulasi terbatas pada satu tipe bangunan (model generik bertingkat sedang) tanpa variasi desain.

  • Tidak mempertimbangkan variabel kondisi tanah lokal (amplifikasi gelombang, jenis pondasi).

  • Belum mengintegrasikan solusi rekayasa struktural (misalnya, penggunaan bracing, damper, base isolator) sebagai skenario perbandingan.

Analisis Tambahan

Dalam praktiknya, banyak bangunan bertingkat di Yogyakarta dibangun tanpa perhitungan gempa memadai, terutama di sektor swasta dan properti komersial. Artikel ini menegaskan bahwa:

  • Desain struktural seringkali menomorduakan faktor gempa, demi efisiensi biaya.

  • Bangunan non-infrastruktur publik, seperti ruko dan kos bertingkat, sering luput dari audit ketahanan struktural.

  • Regulasi teknis, meski tersedia dalam bentuk SNI dan RTRW, masih lemah dalam pengawasan lapangan.

Implikasi Praktis

Penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi:

  • Penyusunan regulasi bangunan yang lebih ketat untuk bangunan bertingkat.

  • Audit struktural bangunan eksisting oleh pemerintah daerah atau asosiasi profesi teknik.

  • Pengembangan simulasi pendidikan untuk masyarakat dan pemilik bangunan sebagai bagian dari edukasi mitigasi bencana.

Rekomendasi Pengembangan

Untuk masa depan, peneliti dan praktisi dapat mempertimbangkan:

  • Pemodelan berdasarkan berbagai konfigurasi struktur dan ketinggian bangunan.

  • Pengaruh kondisi tanah lokal melalui integrasi data geoteknik.

  • Perbandingan struktur eksisting vs struktur tahan gempa agar masyarakat dapat melihat manfaat nyata investasi konstruksi tahan gempa.

Kesimpulan

Studi ini membuka mata akan kerentanan bangunan bertingkat sedang di Yogyakarta terhadap gempa bumi skala menengah. Melalui pendekatan simulasi struktur, kita dapat memahami titik-titik lemah bangunan bahkan sebelum bencana terjadi. Ini adalah langkah strategis dalam upaya mitigasi bencana berbasis data dan rekayasa teknik.

Sumber

Nurhidayatullah, E. F., & Kurniati, D. (2021). Potensi Kerusakan Bangunan Bertingkat Sedang dengan Skenario Gempa ≥5 SR sebagai Upaya Mitigasi Bencana di Yogyakarta. Teras Jurnal, Vol. 11, No. 1.

Selengkapnya
Mitigasi Cerdas Bencana Gempa: Analisis Potensi Kerusakan Bangunan Bertingkat di Yogyakarta
page 1 of 1