Drainase Ekologis
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan — Mengapa Banjir Kita Tak Pernah Usai?
Setiap musim hujan, kota–kota di Kalimantan Selatan berubah menjadi “laut dadakan”. Puncaknya terjadi pada Januari 2021, banjir terbesar dalam separuh abad yang menenggelamkan Banjarmasin, Barabai, Amuntai, hingga Batulicin dan menimbulkan kerugian multi‑miliar rupiah. Penelitian Mardiah (2022) menelusuri akar persoalan dengan kacamata teknis–sosial, lalu menawarkan resep: mengawinkan saluran banjir konvensional (aliran horizontal) dengan kolam regulasi/retensi (penyimpanan vertikal). Pendekatan ini diklaim mampu menahan debit puncak, memperlambat aliran, sekaligus menambah cadangan air tanah. Apakah benar solusi “dua dunia” ini jawaban jitu?
H2: Metodologi Kajian — “Autopsi” Dokumen dan Lapangan
Studi bertipe kajian pustaka deskriptif :
Pendekatan ini membuat makalah bersifat konseptual namun berpijak pada data historis debit, curah hujan, serta pengalaman kegagalan infrastruktur yang “hanya memindahkan udara secepatnya ke hilir”
H2: Temuan Kunci
H3: Paradoks Drainase Konvensional
Sejak tahun 1970‑an, skema drainase kota di Indonesia menekankan azas “buang cepat ke sungai”. Akibatnya:
H3: Potensi Kolam Retensi
Studi menyatakan kolam retensi mampu “memotong” debit puncak (puncak pencukuran) asalkan volume tampungan mencukupi, saluran keluar dapat diatur dinamis, dan tata guna lahan hulu terlindungi.
H2: Analisis Tambahan & Studi Kasus Global
H3: “Ruang untuk Sungai” ala Belanda
Belanda mengevakuasi tanggul sungai ke belakang, menciptakan ruang parkir udara saat puncak banjir. Prinsipnya identik: menahan dan memberi ruang, bukan hanya memaksakan penyaluran cepat.
H3: “Kota Spons” Tiongkok
Kota Shenzhen dan Wuhan memanfaatkan taman cekung, rooftop garden, serta trotoar berpori untuk menyerap 70 % limpasan hujan lokal. Hasilnya, kejadian terakumulasi menurun hingga 30 % dalam lima tahun (MOHURD, 2020).
Pembelajaran bagi Barabai: integrasi harus lintas‑skala—mulai sumur resapan rumah tangga sampai retarding pool 100 ha.
H2: Kritik terhadap Makalah
H2: Implikasi Praktis
H2: Kesimpulan
Makalah Mardiah menegaskan perlunya “pergeseran pola pikir”menu: dari drain‑as‑fast‑as‑mungkin menuju hold‑reuse‑release. Integrasi saluran dengan retensi kolam konvensional adalah langkah rasional, selaras dengan praktik global dan lebih ramah lingkungan. Namun efektivitasnya bertumpu pada data hidrologi, pengelolaan hulu, partisipasi masyarakat, serta adaptasi iklim jangka panjang. Tanpa empat pilar tersebut, retensi kolam rawan berubah menjadi “dana sampah” alih-alih game changer .
Daftar Pustaka
Mardiah. (2022). Peningkatan Efektivitas Pengendalian Banjir dengan Integrasi Sistem Konvensional dan Ecodrainage . Jurnal Badan Pengembangan SDM Kementerian PUPR.
Maryono, A. (2007). Restorasi Sungai . Pers Universitas Gadjah Mada.
Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan . Andi.
Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan-Pedesaan (MOHURD). (2020). Laporan Kemajuan Percontohan Kota Spons . Beijing: MOHURD.
Bank Dunia. (2019). Mengintegrasikan Infrastruktur Hijau dan Abu-abu untuk Pengelolaan Banjir . Washington, DC.