Banjir Semarang

Ecodrainage di Semarang: Solusi Hijau Tangkal Banjir Perkotaan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025


Ecodrainage di Semarang: Solusi Hijau Tangkal Banjir Perkotaan

Ketika Kota Butuh Lebih Dari Sekadar Saluran Air

Di tengah laju urbanisasi dan berkurangnya ruang terbuka hijau, kota-kota Indonesia menghadapi satu musuh bersama: berkumpul dan banjir. Di Kota Semarang, salah satu wilayah yang mulai menunjukkan langkah progresif adalah Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen. Melalui kajian mendalam oleh Nisaul Kamila dan tim dari Universitas Diponegoro, pendekatan baru bernama ecodrainage ditawarkan sebagai alternatif dari sistem drainase konvensional yang selama ini terbukti kurang efektif.

Apa Itu Ecodrainage?

Ecodrainage atau drainase berwawasan lingkungan adalah sistem pengelolaan air hujan yang menekankan peresapan udara alami ke dalam tanah. Tujuannya bukan hanya mengalirkan udara ke saluran, melainkan meminimalkan limpasan permukaan, menjaga muka air tanah, serta menghindari berkumpulnya di wilayah hulu dan banjir di wilayah hilir.

Konsep ini menyadari bahwa air hujan bukan untuk dibuang, tetapi untuk dikelola sebagai aset ekologis. Dengan ekodrainase, udara tidak langsung masuk ke saluran beton, tetapi terlebih dahulu ditampung, diresapkan, atau ditahan agar tidak berbaring di sistem pembuangan kota.

Masalah Drainase di Jatisari: Nyata dan Mendesak

Wilayah Jatisari merupakan kawasan hulu yang sedang berkembang pesat, termasuk perumahan Bukit Jatisari dan BSB City. Masalah klasik muncul:

  • Saluran alami mengalami pendangkalan karena longsor dan sedimentasi.
  • Banyak saluran tersumbat sampah dan vegetasi liar.
  • Warga kurang sadar akan pentingnya saluran karena tidak merasakan langsung dampaknya.

Dampaknya, setiap hujan lebat, tak terhindarkan. Lebih buruk lagi, hilangnya lahan resapan memperbesar risiko banjir di daerah hilir yang menerima aliran limpasan.

Studi Kasus: Menakar Ecodrainage dalam Angka

Penelitian ini menyajikan hitungan teknis tentang potensi efisiensi Ecodrainage dalam meresapkan air hujan sebelum mengalir ke saluran. Dengan curah hujan rata-rata 138,34 mm/jam, debit udara yang masuk ke sistem drainase Jatisari mencapai 8,643 m³/s.

Setelah penerapan berbagai metode ecodrainage, hasilnya cukup signifikan. Total udara yang bisa diserap sistem peresapan mencapai 4,419 m³/s , sedangkan udara yang benar-benar mengalir ke saluran hanya tersisa 4,224 m³/s . Artinya, lebih dari 50% air hujan dapat ditahan dan dikelola secara lokal — sebuah prestasi besar untuk wilayah perkotaan.

Teknologi Hijau yang Diterapkan

  1. Lubang Resapan Biopori (LRB)
    Dibuat di sepanjang tepian jalan dan pekarangan rumah. Hanya di Jl. Duku V, penerapan 162 LRB mampu menyerap sekitar 0,0071 m³/s, mengurangi beban saluran hingga 26%.
  2. Sumur Resapan
    Di kompleks perumahan seperti Graha Pesona Jatisari, sumur ini mampu menyerap 0,012 m³/s dari total debit 0,02 m³/s. Artinya, 60% udara tertangani di sumbernya.
  3. Parit Infiltrasi
    Di wilayah padat penduduk, parit sepanjang 617 meter mampu menyerap 0,014 m³/s dari limpasan 0,602 m³/s. Meski tampak kecil, ini adalah langkah awal memulihkan peran tanah sebagai spons air.
  4. Rorak
    Dipasang di dasar saluran dengan jarak 1,5 meter. Dalam satu ruas jalan, rorak menyerap 0,0092 m³/s — mengurangi tekanan pada saluran beton yang sebelumnya.
  5. Kolam Konservasi (Danau Jatisari)
    Menampung lebih dari 11.000 m³ udara, meski belum dimanfaatkan secara maksimal karena masih tercemar udara limbah domestik.

Evaluasi Kritis: Apa Tantangannya?

1. Skala Implementasi

Jumlah lubang biopori idealnya mencapai 43.900 lubang, namun keterbatasan lahan dan peran serta warga membuat target itu sulit tercapai. Perlunya kebijakan dan insentif dari pemerintah kota untuk menggerakkan masyarakat.

2. Pemeliharaan

Bangunan peresapan memerlukan perawatan berkala agar tidak tersumbat lumpur atau sampah. Tanpa kesadaran warga dan dukungan operasional, sistem ini bisa kehilangan fungsinya dalam hitungan bulan.

3. Kontaminasi

Salah satu catatan penting adalah mencampurnya air limbah domestik ke sistem peresapan, terutama di danau buatan. Jika tidak ditangani, ecodrainage justru bisa mencemari tanah dan air tanah.

dibandingkan dengan Kota Lain

Bandingkan Jatisari dengan Jakarta, yang menggunakan sistem polder dan kolam retensi besar namun masih mengandalkan pembuangan udara sebagai solusi. Sementara di Jerman dan Belanda, pengelolaan air perkotaan dilakukan dengan prinsip menahan, meresap, dan menguapkan udara setempat sebanyak mungkin.

Jatisari mencoba menggabungkan keduanya: teknologi sederhana (biopori, rorak) namun dengan perhitungan teknis yang cermat. Jika tidak berguna, ini bisa menjadi model untuk daerah perkotaan padat yang memiliki keterbatasan lahan.

Dampak Lebih Luas: Lingkungan, Sosial, Ekonomi

  • Lingkungan : Meningkatkan resapan air hujan membantu memulihkan air tanah dan mengurangi risiko amblesan tanah (turunnya tanah).
  • Sosial : Partisipasi warga dalam membangun LRB atau sumur resapan dapat meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga keseimbangan air.
  • Ekonomi : Mengurangi frekuensi banjir berarti mengurangi kerugian rumah tangga, perbaikan jalan, dan penanganan darurat. Ini adalah investasi jangka panjang.

Rekomendasi Penulis

  1. Perlu Integrasi dengan Perda dan RTRW Kota
    Jangan jadikan ecodrainage sebagai proyek teknis semata. Harus menjadi bagian dari kebijakan tata ruang, seperti yang telah dirancang dalam Perda No. 14 Tahun 2011 tentang pengendalian banjir di Semarang.
  2. Perlu Edukasi Massal
    Kampanye visual, edukasi rumah ke rumah, hingga insentif tarif air dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif terlibat.
  3. Pemantauan dan Evaluasi
    Gunakan sensor sederhana atau aplikasi laporan warga untuk menjaga kondisi rorak, sumur, dan biopori. Jangan biarkan sistem mati karena ketiadaan data.

Penutup: Menuju Kota yang Menyerap Air, Bukan Menyebarkannya

Proyek ecodrainage di Jatisari bukan sekadar eksperimen akademik. Ia adalah gambaran bagaimana kota bisa kembali berdamai dengan air. Di era perubahan iklim dan urbanisasi yang brutal, konsep seperti ini bukan hanya relevan — namun mendesak untuk diterapkan secara lebih luas.

Alih-alih terus membangun saluran beton yang lebih besar, mengapa tidak menumbuhkan tanah yang lebih ramah udara? Jatisari sudah membuktikannya. Tinggal bagaimana kita meniru dan mengembangkannya.

Referensi (Gaya APA)

Kamila, N., Wardhana, IW, & Sutrisno, E. (2016). Perencanaan sistem drainase berwawasan lingkungan (Ecodrainage) di Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan , 22(2), 63–72.

Selengkapnya
Ecodrainage di Semarang: Solusi Hijau Tangkal Banjir Perkotaan
page 1 of 1