Banjir Perkotaan
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Kota Tak Lagi Menyerap Air
Sejak tahun 2015, banjir telah merenggut 4.701 jiwa dan menelan kerugian ekonomi hampir 73 miliar dolar AS di Tiongkok, sementara hanya 64 dari 654 kota yang memiliki kerangka hukum Sponge City.
Pada 20 Juli 2021, kota Zhengzhou diguyur hujan ekstrem sebesar 201,9 mm hanya dalam satu jam. Peristiwa ini memperkirakan lebih dari 300 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi langsung mencapai 40,9 miliar yuan. Tragedi ini menyadarkan dunia bahwa infrastruktur drainase konvensional tidak lagi mampu menghadapi perubahan iklim. Kota-kota di Tiongkok pun mulai beralih pada konsep Sponge City Program (SCP) sebagai solusi perkotaan untuk memulihkan siklus udara dan meredam banjir.
Dalam ulasan ini, kami membedah secara kritis hasil studi Chen Zeng dan kolega (2023), yang menelusuri sejauh mana program ini efektif setelah delapan tahun dijalankan. Artikel ini tidak hanya memuat isi jurnal, tetapi berisi interpretasi, kasus nyata, serta rekomendasi agar SCP benar-benar bisa menyerap tantangan masa depan.
Mengapa Sponge City Dibutuhkan?
SCP lahir dari krisis yang nyata. Lebih dari 98 persen kota besar di Tiongkok pernah mengalami penampungan besar. Banjir bukan hanya persoalan infrastruktur, tapi juga kesehatan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa banjir memicu peningkatan penyakit menular seperti diare dan leptospirosis, bahkan di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Kerugian ekonominya pun masif. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata kerugian akibat banjir di Tiongkok melampaui 10 miliar dolar AS per tahun. Ironisnya, angka tertinggi justru muncul setelah program Sponge City resmi diluncurkan pada tahun 2015.
SCP mengadopsi pendekatan pembangunan berdampak rendah (low-impact development ), seperti penggunaan taman hujan, atap hijau, dan paving berpori untuk menyerap dan menyimpan air hujan alih-alih langsung membuangnya ke saluran kota.
Apa Kata Penelitian?
Chen Zeng dkk. menggunakan pendekatan dokumenter interpretatif, menganalisis lebih dari 190 sumber literatur, baik dari jurnal internasional maupun sumber domestik Tiongkok. Mereka juga memanfaatkan data dari National Disaster Reduction Center dan visualisasi spasial menggunakan ArcGIS untuk menilai efektivitas SCP dalam mengurangi risiko banjir.
Metode ini kuat secara literatur, namun memiliki keterbatasan dalam menggali kondisi lapangan secara langsung karena tidak melibatkan wawancara mendalam dengan pengelola kota atau warga yang terdampak.
Temuan Utama: Antara Harapan dan Realitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun konsep Sponge City diterima secara luas, realisasinya masih terbatas. Kurang dari 10 persen kota di Tiongkok telah menetapkan peraturan lokal terkait implementasi SCP. Bahkan di kawasan utara yang kering, pengembangan infrastruktur penyerap udara sangat minim meskipun tren hujan ekstrem meningkat di wilayah tersebut.
Contoh yang paling mencolok adalah Zhengzhou, kota yang menggelontorkan 58,4 miliar yuan untuk membangun infrastruktur SCP. Namun, saat hujan ekstrem Juli 2021 datang, kota itu tetap lumpuh. Ini menandakan bahwa kapasitas desain sistem tidak cukup untuk menangani skenario cuaca yang semakin ekstrem.
Di sisi lain, tidak adanya undang-undang nasional yang mengatur SCP membuat pelaksanaannya sangat bergantung pada inisiatif lokal. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki Undang-Undang Air Bersih, Tiongkok belum memiliki kerangka hukum tunggal yang mengatur semua aspek pembangunan dan pemeliharaan sponsor kota.
Belajar dari Zhengzhou: Ketika Spons Tak Lagi Menyerap
Zhengzhou menjadi studi kasus yang penting. Di kota ini, curah hujan ekstrem melebihi batas desain infrastruktur SCP. Sistem kereta bawah tanah terendam, dan ratusan orang terjebak di dalamnya. Lebih dari 300 nyawa melayang, sebagian besar karena keterlambatan dalam peringatan dini dan kurangnya prosedur pertolongan.
Pelajaran dari peristiwa ini jelas: desain SCP harus mempertimbangkan kemungkinan kejadian cuaca ekstrem yang lebih langka, misalnya yang terjadi sekali dalam seribu tahun, bukan hanya sekali dalam seratus. Lebih jauh lagi, tidak cukup hanya membangun elemen hijau, tetapi juga harus memastikan sistem peringatan dan manajemen risiko berjalan dengan baik.
Bagaimana Negara Lain Mengelola Banjir Kota?
Beberapa negara memiliki pendekatan serupa dengan SCP, tetapi dengan fondasi regulasi dan teknis yang lebih kuat. Di Amerika Serikat, penggunaan pendekatan pembangunan berdampak rendah dilindungi oleh undang-undang air bersih dan didukung oleh insentif fiskal. Inggris menggunakan pendekatan sistem drainase perkotaan berkelanjutan (SUDS) yang tekanan integrasi antara udara dan tata ruang kota. Australia memiliki strategi desain perkotaan ramah air (WSUD) yang menggabungkan air hujan, air limbah, dan konservasi sumber daya.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka adalah pentingnya integrasi hukum dan kelembagaan, serta penguatan data pemantauan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.
Kendala Utama Sponge City di Tiongkok
Masalah utama terletak pada fragmentasi fiskal dan kelembagaan. Pendanaan SCP sering kali berasal dari anggaran lokal, menyebabkan ketimpangan antara kota besar dan kecil. Selain itu, pemeliharaan elemen hijau seperti taman hujan dan sumur resapan memerlukan keahlian teknis yang belum merata di seluruh kota.
Tidak adanya sistem pemantauan nasional yang terintegrasi membuat evaluasi kinerja antar kota menjadi sulit. Bahkan warga sendiri sering kali belum menyadari manfaat ruang terbuka hijau yang "basah", dan justru mengeluh ketika taman kota tergenang air karena dianggap tidak nyaman.
Rekomendasi Strategis: Agar Spons Tak Mengering
Pertama, Tiongkok perlu menetapkan kerangka hukum nasional untuk SCP. Aturan ini harus mencakup standar layanan minimum dan penyesuaian terhadap proyeksi perubahan iklim, misalnya menggunakan skenario IPCC untuk merancang kapasitas sistem hingga tahun 2080.
Kedua, perlu diterapkannya insentif fiskal, seperti tarif air yang lebih rendah bagi bangunan yang mengadopsi atap hijau atau teknologi penampung air hujan. Ini bisa menumbuhkan partisipasi sektor swasta.
Ketiga, integrasi teknologi pertukaran seperti sensor IoT dan digital twin kota sangat penting. Dengan ini, kota dapat memantau kelembaban tanah secara real-time dan melakukan simulasi evakuasi sebelum musim hujan tiba.
Keempat, pendekatan sosial harus diperkuat. Keterlibatan masyarakat dalam mengelola taman hujan atau fasilitas SCP lainnya penting agar warga merasa memiliki dan ikut merawat.
Terakhir, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dampak SCP terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi sirkular udara, serta perubahan perilaku masyarakat dalam menghadapi risiko banjir.
Kesimpulan: Kota yang Menyerap atau Tenggelam?
Delapan tahun sejak dimulai, Sponge City masih menjadi konsep yang menjanjikan namun belum sepenuhnya terbukti ampuh. Evaluasi Chen Zeng dan rekannya menyatakan bahwa infrastruktur saja tidak cukup. Regulasi nasional, edukasi masyarakat, pemantauan yang transparan, dan kapasitas institusi lokal harus berjalan beriringan.
Zhengzhou adalah contoh nyata bahwa pembangunan fisik tanpa kesiapan sosial dan kelembagaan dapat berakhir pada tragedi. Kota masa depan harus mampu tidak hanya menyerap udara, tetapi juga menyerap kompleksitas perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi yang menyertainya.
Jika tidak, kota sponsor hanyalah nama tanpa fungsi—basah oleh ambisi, tetapi kering dalam aksi.
Referensi
Chen, Z., Aboagye, EM, Li, H., & Che, S. (2023). Komentar dan rekomendasi tentang Sponge City—solusi Tiongkok untuk mencegah risiko banjir . Heliyon, 9, e12745.
Pendahuluan: Ketika Kota Tak Lagi Menyerap Air
Sejak tahun 2015, banjir telah merenggut 4.701 jiwa dan menelan kerugian ekonomi hampir 73 miliar dolar AS di Tiongkok, sementara hanya 64 dari 654 kota yang memiliki kerangka hukum Sponge City.
Pada 20 Juli 2021, kota Zhengzhou diguyur hujan ekstrem sebesar 201,9 mm hanya dalam satu jam. Peristiwa ini memperkirakan lebih dari 300 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi langsung mencapai 40,9 miliar yuan. Tragedi ini menyadarkan dunia bahwa infrastruktur drainase konvensional tidak lagi mampu menghadapi perubahan iklim. Kota-kota di Tiongkok pun mulai beralih pada konsep Sponge City Program (SCP) sebagai solusi perkotaan untuk memulihkan siklus udara dan meredam banjir.
Dalam ulasan ini, kami membedah secara kritis hasil studi Chen Zeng dan kolega (2023), yang menelusuri sejauh mana program ini efektif setelah delapan tahun dijalankan. Artikel ini tidak hanya memuat isi jurnal, tetapi berisi interpretasi, kasus nyata, serta rekomendasi agar SCP benar-benar bisa menyerap tantangan masa depan.
Mengapa Sponge City Dibutuhkan?
SCP lahir dari krisis yang nyata. Lebih dari 98 persen kota besar di Tiongkok pernah mengalami penampungan besar. Banjir bukan hanya persoalan infrastruktur, tapi juga kesehatan masyarakat. Studi menunjukkan bahwa banjir memicu peningkatan penyakit menular seperti diare dan leptospirosis, bahkan di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Kerugian ekonominya pun masif. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata kerugian akibat banjir di Tiongkok melampaui 10 miliar dolar AS per tahun. Ironisnya, angka tertinggi justru muncul setelah program Sponge City resmi diluncurkan pada tahun 2015.
SCP mengadopsi pendekatan pembangunan berdampak rendah (low-impact development ), seperti penggunaan taman hujan, atap hijau, dan paving berpori untuk menyerap dan menyimpan air hujan alih-alih langsung membuangnya ke saluran kota.
Apa Kata Penelitian?
Chen Zeng dkk. menggunakan pendekatan dokumenter interpretatif, menganalisis lebih dari 190 sumber literatur, baik dari jurnal internasional maupun sumber domestik Tiongkok. Mereka juga memanfaatkan data dari National Disaster Reduction Center dan visualisasi spasial menggunakan ArcGIS untuk menilai efektivitas SCP dalam mengurangi risiko banjir.
Metode ini kuat secara literatur, namun memiliki keterbatasan dalam menggali kondisi lapangan secara langsung karena tidak melibatkan wawancara mendalam dengan pengelola kota atau warga yang terdampak.
Temuan Utama: Antara Harapan dan Realitas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun konsep Sponge City diterima secara luas, realisasinya masih terbatas. Kurang dari 10 persen kota di Tiongkok telah menetapkan peraturan lokal terkait implementasi SCP. Bahkan di kawasan utara yang kering, pengembangan infrastruktur penyerap udara sangat minim meskipun tren hujan ekstrem meningkat di wilayah tersebut.
Contoh yang paling mencolok adalah Zhengzhou, kota yang menggelontorkan 58,4 miliar yuan untuk membangun infrastruktur SCP. Namun, saat hujan ekstrem Juli 2021 datang, kota itu tetap lumpuh. Ini menandakan bahwa kapasitas desain sistem tidak cukup untuk menangani skenario cuaca yang semakin ekstrem.
Di sisi lain, tidak adanya undang-undang nasional yang mengatur SCP membuat pelaksanaannya sangat bergantung pada inisiatif lokal. Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki Undang-Undang Air Bersih, Tiongkok belum memiliki kerangka hukum tunggal yang mengatur semua aspek pembangunan dan pemeliharaan sponsor kota.
Belajar dari Zhengzhou: Ketika Spons Tak Lagi Menyerap
Zhengzhou menjadi studi kasus yang penting. Di kota ini, curah hujan ekstrem melebihi batas desain infrastruktur SCP. Sistem kereta bawah tanah terendam, dan ratusan orang terjebak di dalamnya. Lebih dari 300 nyawa melayang, sebagian besar karena keterlambatan dalam peringatan dini dan kurangnya prosedur pertolongan.
Pelajaran dari peristiwa ini jelas: desain SCP harus mempertimbangkan kemungkinan kejadian cuaca ekstrem yang lebih langka, misalnya yang terjadi sekali dalam seribu tahun, bukan hanya sekali dalam seratus. Lebih jauh lagi, tidak cukup hanya membangun elemen hijau, tetapi juga harus memastikan sistem peringatan dan manajemen risiko berjalan dengan baik.
Bagaimana Negara Lain Mengelola Banjir Kota?
Beberapa negara memiliki pendekatan serupa dengan SCP, tetapi dengan fondasi regulasi dan teknis yang lebih kuat. Di Amerika Serikat, penggunaan pendekatan pembangunan berdampak rendah dilindungi oleh undang-undang air bersih dan didukung oleh insentif fiskal. Inggris menggunakan pendekatan sistem drainase perkotaan berkelanjutan (SUDS) yang tekanan integrasi antara udara dan tata ruang kota. Australia memiliki strategi desain perkotaan ramah air (WSUD) yang menggabungkan air hujan, air limbah, dan konservasi sumber daya.
Apa yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka adalah pentingnya integrasi hukum dan kelembagaan, serta penguatan data pemantauan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.
Kendala Utama Sponge City di Tiongkok
Masalah utama terletak pada fragmentasi fiskal dan kelembagaan. Pendanaan SCP sering kali berasal dari anggaran lokal, menyebabkan ketimpangan antara kota besar dan kecil. Selain itu, pemeliharaan elemen hijau seperti taman hujan dan sumur resapan memerlukan keahlian teknis yang belum merata di seluruh kota.
Tidak adanya sistem pemantauan nasional yang terintegrasi membuat evaluasi kinerja antar kota menjadi sulit. Bahkan warga sendiri sering kali belum menyadari manfaat ruang terbuka hijau yang "basah", dan justru mengeluh ketika taman kota tergenang air karena dianggap tidak nyaman.
Rekomendasi Strategis: Agar Spons Tak Mengering
Pertama, Tiongkok perlu menetapkan kerangka hukum nasional untuk SCP. Aturan ini harus mencakup standar layanan minimum dan penyesuaian terhadap proyeksi perubahan iklim, misalnya menggunakan skenario IPCC untuk merancang kapasitas sistem hingga tahun 2080.
Kedua, perlu diterapkannya insentif fiskal, seperti tarif air yang lebih rendah bagi bangunan yang mengadopsi atap hijau atau teknologi penampung air hujan. Ini bisa menumbuhkan partisipasi sektor swasta.
Ketiga, integrasi teknologi pertukaran seperti sensor IoT dan digital twin kota sangat penting. Dengan ini, kota dapat memantau kelembaban tanah secara real-time dan melakukan simulasi evakuasi sebelum musim hujan tiba.
Keempat, pendekatan sosial harus diperkuat. Keterlibatan masyarakat dalam mengelola taman hujan atau fasilitas SCP lainnya penting agar warga merasa memiliki dan ikut merawat.
Terakhir, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dampak SCP terhadap kesehatan masyarakat, ekonomi sirkular udara, serta perubahan perilaku masyarakat dalam menghadapi risiko banjir.
Kesimpulan: Kota yang Menyerap atau Tenggelam?
Delapan tahun sejak dimulai, Sponge City masih menjadi konsep yang menjanjikan namun belum sepenuhnya terbukti ampuh. Evaluasi Chen Zeng dan rekannya menyatakan bahwa infrastruktur saja tidak cukup. Regulasi nasional, edukasi masyarakat, pemantauan yang transparan, dan kapasitas institusi lokal harus berjalan beriringan.
Zhengzhou adalah contoh nyata bahwa pembangunan fisik tanpa kesiapan sosial dan kelembagaan dapat berakhir pada tragedi. Kota masa depan harus mampu tidak hanya menyerap udara, tetapi juga menyerap kompleksitas perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi yang menyertainya.
Jika tidak, kota sponsor hanyalah nama tanpa fungsi—basah oleh ambisi, tetapi kering dalam aksi.
Referensi
Chen, Z., Aboagye, EM, Li, H., & Che, S. (2023). Komentar dan rekomendasi tentang Sponge City—solusi Tiongkok untuk mencegah risiko banjir . Heliyon, 9, e12745.