Mengapa Islamic Project Financing Menjadi Solusi Masa Depan Infrastruktur?
Pembangunan infrastruktur adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kebutuhan dana yang masif—hanya sekitar 54% kebutuhan infrastruktur periode 2010–2014 dapat dipenuhi APBN—memaksa pemerintah mencari alternatif pembiayaan yang inovatif. Islamic project financing (pembiayaan proyek berbasis syariah) muncul sebagai opsi strategis, mengingat populasi Muslim terbesar di dunia dan potensi dana syariah yang belum tergarap optimal. Artikel ini mengupas secara kritis praktik, tantangan, peluang, serta hasil studi kasus nyata Islamic project financing di Indonesia, berdasarkan riset mendalam Ayomi Dita Rarasati (2014).
Apa Itu Islamic Project Financing?
Islamic project financing adalah skema pembiayaan proyek yang mengikuti prinsip syariah: tanpa bunga (riba), bebas spekulasi (maysir), dan menghindari ketidakpastian berlebihan (gharar). Skema ini menekankan pembagian risiko dan keuntungan (profit-loss sharing), transaksi berbasis aset nyata, serta pengawasan ketat dari Dewan Syariah. Beberapa instrumen utama:
- Mudaraba: Kerja sama modal dengan pembagian laba, investor tidak ikut mengelola.
- Musharaka: Joint venture, semua pihak berbagi modal dan risiko secara proporsional.
- Murabaha: Jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati.
- Ijara: Sewa aset (leasing).
- Istisna: Pembiayaan manufaktur/konstruksi berdasarkan pesanan.
- Sukuk: Obligasi syariah berbasis aset.
Tren Global dan Posisi Indonesia
Secara global, Islamic finance berkembang pesat di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Meski Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar, adopsi Islamic project financing untuk infrastruktur masih terbatas. Tantangan utama meliputi pemahaman stakeholder, kesiapan regulasi, dan kapasitas institusi keuangan syariah.
Studi Kasus: Empat Proyek Infrastruktur Syariah di Indonesia
Penelitian Rarasati mengupas empat studi kasus nyata: tiga pembangkit listrik mini-hidro dan satu proyek pengembangan Pelabuhan Belawan. Berikut ringkasan detailnya:
1. Mini Hydro A (PLTM Karai River, Sumatera Utara)
- Investasi: ±Rp153 miliar
- Skema: 31% ekuitas, 69% murabaha financing dari bank syariah domestik
- Mekanisme: Bank membeli peralatan, lalu menjual ke perusahaan dengan margin (murabaha). Grace period 24 bulan, tenor total 84 bulan.
- Pendapatan: PLN membeli listrik selama 20 tahun, tarif Rp787,2/kWh.
- Tantangan: Selama konstruksi, pembayaran margin tetap berjalan meski pendapatan belum ada.
2. Mini Hydro B (PLTM Karai River, Sumatera Utara)
- Investasi: ±Rp183 miliar
- Skema: 33% ekuitas, 67% line facility (murabaha, wakala, kafalah, qardh) dari bank syariah domestik
- Mekanisme: Revolving facility, grace period 24 bulan, tenor total 84 bulan.
- Pendapatan: PLN sebagai off-taker.
3. Mini Hydro C (PLTM Silau River, Sumatera Utara)
- Investasi: Awal Rp120 miliar, naik menjadi Rp130 miliar
- Skema: Awalnya dua murabaha, lalu dikonversi ke musharaka (joint venture) dengan bank syariah
- Mekanisme: Profit sharing dari pendapatan listrik, tenor 96 bulan.
- Pendapatan: PLN membeli listrik dengan tarif Rp541,26/kWh.
4. Pengembangan Pelabuhan Belawan
- Investasi: USD 139,31 juta (IDB: USD 87,55 juta, GOI: USD 51,76 juta)
- Skema: Istisna (pembiayaan konstruksi) dari Islamic Development Bank (IDB)
- Mekanisme: IDB mendanai pembangunan, pemerintah Indonesia sebagai pemilik proyek, pengelolaan oleh BUMN pelabuhan.
- Pendapatan: Konsesi operasi dan pemeliharaan pelabuhan.
Analisis Angka-Angka Kunci
- Porsi pembiayaan syariah: 67–80% dari total investasi pada proyek mini-hidro.
- Grace period: Umumnya 24 bulan (fase konstruksi), pembayaran pokok ditunda namun margin/profit tetap berjalan.
- Tenor: 7–8 tahun (84–96 bulan).
- Tarif listrik: Rp541,26–787,2/kWh sesuai regulasi PLN untuk energi terbarukan.
- Model pendapatan: Skema take-or-pay dengan PLN sebagai off-taker.
Temuan Kunci: Praktik, Pemahaman, dan Hambatan
Praktik di Lapangan
- Islamic project financing sudah diterapkan pada proyek dengan arus kas jelas dan aset nyata (power plant, pelabuhan).
- Instrumen yang digunakan bervariasi: murabaha (jual beli aset), musharaka (joint venture), istisna (pembiayaan konstruksi).
- Keterlibatan bank syariah domestik dan internasional (IDB) sudah terjadi, namun jumlah proyek masih terbatas.
Tingkat Pemahaman Stakeholder
- Banyak pemangku kepentingan masih menganggap Islamic project financing identik dengan produk perbankan syariah konvensional.
- Pemahaman mendalam tentang perbedaan mendasar antara skema syariah dan konvensional masih rendah, terutama terkait risiko, struktur kontrak, dan peran Dewan Syariah.
- Dewan Syariah Nasional (DSN) berperan besar, namun belum semua anggota memahami detail bisnis infrastruktur.
Hambatan Implementasi
- Regulasi dan Standar: Belum ada standar baku nasional untuk struktur Islamic project financing di sektor infrastruktur.
- Keterbatasan Produk: Bank syariah cenderung memilih instrumen sederhana (murabaha), kurang inovasi untuk instrumen PLS (mudaraba, musharaka).
- Durasi dan Skala: Islamic bank lebih nyaman pada proyek jangka pendek dan skala kecil-menengah, kurang agresif untuk mega-proyek.
- Keterlibatan Dewan Syariah: DSN sering hanya menilai aspek kepatuhan syariah, belum optimal dalam menilai kelayakan bisnis proyek.
- Budaya dan Persepsi: Masih ada anggapan Islamic finance lebih rumit, mahal, dan lambat dibanding konvensional.
Kelebihan dan Potensi Islamic Project Financing
- Akses ke Dana Baru: Potensi menarik dana idle umat (zakat, wakaf, dana haji) dan investor Timur Tengah.
- Kepastian Aset dan Arus Kas: Cocok untuk proyek dengan aset fisik dan arus kas pasti (power plant, tol, pelabuhan).
- Resiliensi Krisis: Studi global menunjukkan Islamic finance lebih tahan krisis karena berbasis aset dan tidak spekulatif.
- Kesesuaian Nilai: Lebih diterima oleh investor dan masyarakat Muslim, mendukung inklusi keuangan nasional.
- Diversifikasi Sumber Pembiayaan: Mengurangi ketergantungan pada pinjaman konvensional dan utang luar negeri.
Keterbatasan dan Tantangan
- Kurangnya Inovasi Produk: Bank syariah cenderung konservatif, lebih memilih murabaha daripada PLS.
- Keterbatasan Tenor Panjang: Islamic bank sering enggan memberi tenor sangat panjang (di atas 10 tahun).
- Kompleksitas Administrasi: Proses due diligence, fatwa, dan dokumentasi lebih rumit dan memakan waktu.
- Kurangnya SDM dan Literasi: Baik di sisi bank, regulator, maupun pelaku proyek, literasi Islamic finance masih rendah.
- Belum Ada Standar Global: Fatwa dan praktik bisa berbeda antar negara, sehingga sulit untuk sindikasi internasional.
Rekomendasi Strategis untuk Indonesia
1. Penguatan Regulasi dan Standar
- Pemerintah dan OJK perlu merumuskan standar nasional Islamic project financing untuk infrastruktur, termasuk model kontrak, risk sharing, dan peran DSN.
- Harmonisasi fatwa syariah agar selaras dengan kebutuhan bisnis dan praktik global.
2. Inovasi Produk dan Skema
- Dorong bank syariah untuk mengembangkan produk berbasis PLS (mudaraba, musharaka) dan sukuk proyek.
- Fasilitasi sindikasi antara bank syariah domestik dan internasional untuk proyek besar.
3. Penguatan Kapasitas SDM
- Pelatihan intensif untuk bankir, regulator, dan pelaku proyek tentang Islamic project financing, baik aspek syariah maupun bisnis.
- Libatkan DSN sejak awal dalam proses due diligence proyek, bukan hanya di tahap akhir.
4. Optimalisasi Dana Umat
- Manfaatkan dana haji, zakat, wakaf, dan sukuk negara untuk pembiayaan infrastruktur berbasis syariah.
- Buat skema investasi syariah yang menarik bagi investor ritel dan institusi.
5. Edukasi dan Sosialisasi
- Kampanye literasi Islamic project financing ke pelaku industri, pemerintah daerah, dan masyarakat luas.
- Tampilkan success story proyek-proyek syariah yang berhasil sebagai inspirasi.
Opini dan Kritik: Islamic Project Financing Bukan Sekadar Alternatif
Penelitian Rarasati membuktikan bahwa Islamic project financing bukan sekadar “pelengkap” atau “alternatif” bagi pembiayaan infrastruktur nasional. Dengan struktur yang tepat, skema ini mampu menjadi solusi utama, terutama untuk proyek-proyek dengan aset nyata dan arus kas jelas. Namun, agar potensi ini benar-benar terwujud, dibutuhkan reformasi regulasi, inovasi produk, penguatan SDM, dan sinergi lintas sektor. Islamic project financing juga harus bertransformasi dari sekadar “copy-paste” produk perbankan syariah ke model pembiayaan infrastruktur yang benar-benar berbasis risk sharing dan value creation.
Kritik utama terhadap praktik saat ini adalah kecenderungan bank syariah memilih skema sederhana (murabaha) yang pada dasarnya mirip dengan kredit konvensional, hanya tanpa bunga. Padahal, esensi Islamic finance adalah risk sharing dan keberpihakan pada sektor riil. Selain itu, keterlibatan DSN harus lebih proaktif dan memahami aspek bisnis, bukan sekadar kepatuhan formal.
Tren Global dan Relevansi Industri
- Digitalisasi dan Big Data: Penggunaan data satelit, IoT, dan machine learning untuk prediksi dan pemetaan risiko semakin masif.
- Pendekatan komunitas: Partisipasi masyarakat dalam pengumpulan data dan validasi risiko terbukti meningkatkan ketepatan peta dan efektivitas mitigasi.
- Integrasi kebijakan: Negara-negara maju mulai mensyaratkan multi-risk assessment dalam setiap proyek infrastruktur dan tata ruang.
Kesimpulan: Islamic Project Financing, Pilar Baru Pembangunan Infrastruktur Nasional
Islamic project financing menawarkan paradigma baru pembangunan infrastruktur Indonesia: inklusif, berbasis aset, adil, dan berkelanjutan. Studi kasus nyata membuktikan skema ini feasible dan berpotensi besar, meski masih ada tantangan di level regulasi, produk, dan SDM. Dengan komitmen bersama pemerintah, regulator, perbankan, dan pelaku industri, Islamic project financing dapat menjadi pilar utama pembiayaan infrastruktur nasional—bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dana, tapi juga untuk membangun ekosistem keuangan yang lebih sehat, resilien, dan sesuai nilai-nilai bangsa.
Sumber
Ayomi Dita Rarasati. (2014). "Islamic Project Financing in Indonesian Infrastructure Development". Doctoral Thesis, Queensland University of Technology.