Evaluasi Kompetensi Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Kantor Camat Pasarwajo

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

30 April 2025, 09.30

pexels.com

Pendahuluan: Kompetensi sebagai Pilar Kualitas Proyek Konstruksi

Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia, kualitas hasil konstruksi tidak hanya bergantung pada desain dan material, tetapi juga pada faktor yang kerap terabaikan: kompetensi tenaga kerja. Artikel ilmiah oleh Asril dan rekan-rekannya yang diterbitkan di Shell Civil Engineering Journal (SCEJ) Volume 9 No. 1 (2024), menyuguhkan kajian yang sangat relevan terhadap hal ini. Mereka mengevaluasi penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) terhadap tukang batu pada proyek pembangunan Kantor Camat Pasarwajo, Buton, tahun 2020.

Berangkat dari realitas bahwa mayoritas tenaga kerja di sektor konstruksi Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan rendah dan memperoleh keahlian melalui pengalaman langsung, penelitian ini menyoroti tiga komponen utama kompetensi menurut SKKNI:

  • Kemampuan dalam tugas

  • Kemampuan mengatasi masalah

  • Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja

Metode Penelitian: Kualitatif Deskriptif yang Kontekstual

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang memungkinkan pemahaman holistik terhadap fenomena di lapangan. Responden terdiri dari tujuh tukang batu yang terlibat langsung dalam pembangunan pondasi dan plasteran. Meskipun jumlah responden terbatas, kedalaman data cukup terakomodasi melalui wawancara, observasi, dan kuesioner terstruktur berdasarkan indikator SKKNI.

Karakteristik penting dari responden:

  • 100% berjenis kelamin laki-laki

  • 75% berusia antara 36–60 tahun

  • 50% hanya tamatan SD

  • 75% memiliki pengalaman kerja 7–10 tahun

Statistik ini menggambarkan tipikal tenaga kerja konstruksi di daerah: berpengalaman, namun minim pendidikan formal atau pelatihan teknis yang terstruktur.

Hasil dan Analisis: Potret Kompetensi di Lapangan

🔹 1. Kemampuan dalam Tugas

Kompetensi teknis para tukang batu dinilai relatif baik. Sebanyak 85% responden mengaku memahami teori pekerjaan mereka. Lebih penting lagi, 100% merasa mampu bekerja dengan alat seadanya dan memiliki keahlian walau tidak bersertifikat. Ini menegaskan pentingnya pengalaman lapangan sebagai bentuk “pendidikan informal.”

Namun, hanya 60% yang mampu menyelesaikan pondasi dua meter dalam 30 menit. Artinya, masih ada ruang perbaikan dalam efisiensi teknis.

Analisis tambahan:

  • Masalah krusial muncul pada aspek ketelitian. Beberapa kerusakan pondasi, meski minor, berpotensi menimbulkan efek domino jika tidak diatasi.
     

  • Dalam konteks industri, rework akibat kesalahan manusia bisa menghabiskan hingga 5% dari total biaya proyek (menurut McGraw-Hill Construction, 2019).
     

🔹 2. Kemampuan Mengatasi Masalah

Sebanyak 75% responden menyatakan mampu menyelesaikan masalah pekerjaan secara cepat, seperti menangani kerusakan pondasi dan situasi darurat seperti kecelakaan kerja.

Namun, kemampuan dalam pengambilan keputusan masih lemah, di mana hanya 25% responden merasa percaya diri. Ini adalah kelemahan mendasar yang bisa menghambat kelancaran pekerjaan.

Nilai tambah dan kritik:

  • Dalam proyek konstruksi modern, respon cepat terhadap kendala teknis merupakan kunci. Penerapan lean construction menuntut pekerja untuk terlibat dalam problem solving aktif. Oleh karena itu, pelatihan keterampilan kognitif harus ditingkatkan.
     

  • Penulis tidak menyertakan perbandingan dengan proyek lain—misalnya proyek bersertifikasi ISO yang menuntut lebih tinggi aspek dokumentasi dan pengambilan keputusan.
     

🔹 3. Kemampuan Menyesuaikan Diri

Seluruh responden mampu bekerja di lingkungan bising, dan 70% merasa mampu berkomunikasi dengan baik. Namun, partisipasi lintas fungsi masih kurang. Hanya 55% yang sangat setuju bahwa mereka aktif dalam kerja tim.

Studi tambahan:

  • Berdasarkan studi oleh Ogunseiju (2023), proyek konstruksi di Asia Tenggara mengalami efisiensi 20% lebih tinggi ketika tenaga kerja dilatih dalam interpersonal skill.
     

  • Budaya kerja kolaboratif akan makin dibutuhkan seiring berkembangnya proyek berskala besar berbasis teknologi (misalnya BIM atau modular construction).

Pembahasan Lanjutan: Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi

Penelitian ini juga mengidentifikasi faktor eksternal yang memengaruhi penerapan kompetensi:

  • Kesadaran perusahaan untuk menerapkan SKKNI

  • Latar belakang pendidikan pekerja

  • Pengawasan proyek

  • Sikap dan usia pekerja
     

Menariknya, usia tua tidak selalu menjadi hambatan. Justru kombinasi pekerja senior dan junior dapat menciptakan transfer knowledge yang ideal, asalkan didukung budaya mentoring yang sehat.

Relevansi industri:

  • Dunia konstruksi sedang mengalami gelombang digitalisasi. Tenaga kerja adaptif menjadi tuntutan utama, bukan hanya terampil secara manual.
     

  • Sayangnya, penelitian belum mengkaji bagaimana kesiapan pekerja terhadap teknologi baru seperti drone site monitoring atau augmented reality (AR) dalam pelatihan.
     

Studi Banding: Bagaimana Negara Lain Mengelola Kompetensi?

Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Malaysia dan Singapura telah menerapkan sistem sertifikasi tenaga kerja berbasis modul dengan asesmen kompetensi setiap 2 tahun (Zabidin et al., 2021). Di Indonesia, sistem sertifikasi seperti SKTK masih bersifat opsional dan tidak merata.

Rekomendasi:

  • Pemerintah dan asosiasi kontraktor perlu membuat sertifikasi wajib dan berkala untuk semua pekerja.
     

  • Perlu integrasi antara sistem pelatihan informal di lapangan dengan sertifikasi kompetensi resmi, agar pengalaman bisa divalidasi secara legal.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun kompetensi pekerja sudah mencukupi, tetap diperlukan:

  1. Pelatihan formal dan informal yang berkelanjutan

  2. Peningkatan pengawasan kualitas kerja

  3. Sertifikasi massal bagi pekerja berpengalaman

  4. Peningkatan komunikasi dan kerja tim

Dampak praktis:

  • Penerapan standar kompetensi tidak hanya meningkatkan kualitas bangunan, tetapi juga mengurangi biaya rework dan meningkatkan keselamatan kerja.

  • Proyek yang menggunakan tenaga kerja tersertifikasi akan lebih dipercaya oleh investor dan pemilik proyek.

Kesimpulan Resensi: Antara Kompeten dan Tersertifikasi

Artikel ini merupakan kontribusi penting dalam mendorong penguatan kapasitas SDM di sektor konstruksi. Evaluasi terhadap kompetensi tukang batu bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga mencerminkan kesiapan Indonesia dalam bersaing secara global di sektor infrastruktur.

Namun, untuk benar-benar melompat ke level berikutnya, perlu reformasi menyeluruh dalam sistem pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Masa depan konstruksi bukan hanya soal membangun gedung, tetapi juga membangun manusia yang membangunnya.

Referensi Sumber Asli

Penelitian ini diterbitkan dalam:
Asril, M. Chaiddir Hajia, M. Abdu, H. Kundrad SR. (2024). Evaluasi Kompetensi Pekerja pada Proyek Pembangunan Kantor Camat Pasarwajo Tahun 2020. Shell Civil Engineering Journal, Vol. 9 No. 1, hlm. 27–34.
Akses resmi: https://doi.org/10.35326/scej.v9i1.6142