Evaluasi K3 di Proyek Konstruksi Kendari: Apakah Sudah Cukup Aman?

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

06 Mei 2025, 08.12

pexels.com

Pengantar: Mengapa K3 Masih Menjadi Isu Serius?

Di Indonesia, sektor konstruksi menempati peringkat tinggi dalam hal risiko kecelakaan kerja. Data BPJS Ketenagakerjaan (2020) mencatat lebih dari 155.000 kasus kecelakaan kerja, dan proyek konstruksi menjadi salah satu penyumbang terbesar. Laporan ini menggarisbawahi pentingnya manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), khususnya di daerah berkembang seperti Kota Kendari.

Penelitian yang dilakukan oleh Harlan, Hajia, dan Alimuddin menjadi sangat relevan karena menyoroti tingkat penerapan K3 di lapangan secara sistematis dan terukur. Studi ini tidak hanya memberikan gambaran praktis tentang kondisi di lapangan, tetapi juga menawarkan data konkret yang bisa menjadi landasan pengambilan keputusan.

Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas penerapan K3 dalam proyek-proyek pembangunan gedung di Kota Kendari. Metodologi yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif dengan teknik survei kepada pelaku proyek (pengawas lapangan dan pelaksana lapangan) serta menggunakan skala Likert untuk menilai tingkat penerapan berbagai indikator K3.

Terdapat lima aspek utama yang diteliti:

  1. Kebijakan dan prosedur K3

  2. Sosialisasi dan pelatihan K3

  3. Penggunaan alat pelindung diri (APD)

  4. Tindakan pencegahan kecelakaan kerja

  5. Peran pengawasan dalam penerapan K3

Temuan Utama: Angka-angka yang Bicara

1. Rata-rata Tingkat Penerapan K3: 78,84% (Kategori Baik)

Angka ini menunjukkan bahwa secara umum, penerapan K3 pada proyek-proyek yang diteliti sudah tergolong baik. Namun, jika dibandingkan dengan standar ideal dalam Permenaker No. 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen K3, skor ini belum sepenuhnya optimal.

2. Penggunaan APD Mencapai 86,86%

Ini menjadi indikator tertinggi dari lima aspek yang dinilai. Temuan ini memperlihatkan bahwa kesadaran pekerja dalam menggunakan APD seperti helm, sepatu boot, dan rompi cukup tinggi. Namun, efektivitas penggunaan belum tentu menjamin perlindungan maksimal jika tidak dibarengi dengan pengawasan dan pelatihan.

3. Pengawasan K3 Masih Lemah: Skor Terendah 70,36%

Kelemahan ini menjadi titik krusial. Tanpa pengawasan yang konsisten dan kompeten, penerapan K3 cenderung bersifat formalitas. Hal ini sejalan dengan studi sebelumnya oleh Ismail et al. (2017), yang menemukan bahwa absennya pengawas K3 bersertifikasi seringkali menjadi penyebab utama kecelakaan di proyek skala kecil dan menengah.

Analisis Mendalam: Apa Arti di Balik Angka?

Meski nilai keseluruhan "baik", kita perlu melihat lebih dalam bahwa angka bukan segalanya. Evaluasi K3 tidak cukup hanya mengandalkan checklist atau dokumentasi. Kultur keselamatan yang tertanam di setiap level organisasi jauh lebih menentukan.

Kenyataannya, skor 70% dalam aspek pengawasan mencerminkan adanya celah struktural. Banyak proyek di daerah seperti Kendari belum memiliki Safety Officer tetap atau pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kerja. Kecelakaan ringan hingga fatal bisa terjadi karena kelalaian kecil, seperti kabel listrik terbuka atau pekerja tidak mengikat sabuk pengaman saat bekerja di ketinggian.

Studi Kasus Nyata: Pelajaran dari Proyek Gedung Pemerintah di Sultra

Pada proyek pembangunan Gedung Dinas di Sulawesi Tenggara tahun 2019, tercatat dua kecelakaan kerja ringan karena kelalaian pemakaian APD dan perancah tidak terikat kuat. Dari investigasi internal, diketahui bahwa tidak ada inspeksi rutin selama dua minggu sebelum kejadian.

Ini menjadi contoh konkret bahwa meski APD tersedia dan prosedur ada, tanpa pelaksanaan disiplin dan inspeksi yang berkelanjutan, risiko tetap tinggi. Temuan ini memperkuat urgensi aspek keempat dan kelima dalam penelitian: tindakan pencegahan dan pengawasan.

Komparasi dengan Penelitian Lain: Seberapa Serius Kita Menerapkan K3?

Jika dibandingkan dengan studi serupa di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, tingkat penerapan K3 di Kendari masih tertinggal. Misalnya, penelitian oleh Anas et al. (2021) menunjukkan skor penerapan K3 di proyek apartemen Jakarta mencapai 88% dengan pengawasan aktif 24/7 oleh tim HSE.

Namun demikian, pencapaian 78,84% di Kendari tetap patut diapresiasi, mengingat keterbatasan sumber daya, kurangnya tenaga ahli K3, dan budaya kerja yang belum sepenuhnya safety-oriented. Ini menunjukkan bahwa ada kemajuan signifikan, walaupun belum merata.

Rekomendasi Praktis: Langkah Nyata untuk Perbaikan

Berikut beberapa rekomendasi berdasarkan analisis penulis terhadap artikel ini:

  • Wajibkan Pelatihan Berkala
    Setiap proyek konstruksi perlu mewajibkan pelatihan K3 minimal sekali dalam sebulan bagi seluruh pekerja.

  • Digitalisasi Laporan K3
    Pemanfaatan aplikasi inspeksi K3 harian dapat membantu dalam pemantauan real-time dan meminimalkan human error.

  • Integrasi K3 dalam SOP Proyek
    Prosedur K3 harus dijadikan bagian dari standar operasi, bukan dokumen pelengkap.

  • Penerapan Sistem Reward & Punishment
    Pekerja yang patuh diberi insentif, sementara pelanggaran K3 harus mendapat teguran tegas hingga pemberhentian.

  • Kolaborasi dengan BPJS & Disnaker
    Penguatan kerja sama dengan lembaga formal penting untuk audit eksternal dan peningkatan kualitas SDM.
     

Implikasi Industri: Bukan Sekadar Kepatuhan, Tapi Investasi

Dalam konteks industri konstruksi nasional, K3 seharusnya tidak dipandang sebagai beban administratif. Justru, ini adalah investasi jangka panjang yang berdampak langsung pada produktivitas dan reputasi perusahaan.

Perusahaan-perusahaan global seperti Samsung C&T dan Hyundai E&C bahkan menjadikan K3 sebagai tolok ukur utama dalam pemilihan subkontraktor. Artinya, kepatuhan terhadap standar keselamatan bukan lagi sekadar norma, tetapi kebutuhan pasar.

Penutup: Membangun Budaya Selamat

Penelitian ini memberikan gambaran objektif tentang bagaimana penerapan K3 di Kota Kendari masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pengawasan dan tindakan preventif. Kunci utama bukan hanya tersedianya perangkat dan regulasi, tetapi bagaimana seluruh pemangku kepentingan—dari manajemen hingga tukang bangunan—menjadikan keselamatan sebagai budaya kerja.

Keselamatan kerja bukan pilihan, tetapi kewajiban moral dan profesional.

Sumber

Harlan, Muh. Chaiddir Hajia, & Alimuddin. (2021). Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Pembangunan Gedung di Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Media Engineering, 7(2), 142-149. DOI: https://doi.org/10.33772/jime.v7i2.1585