Pendahuluan: Inovasi Tak Berdiri Sendiri, Budaya Menentukan
Di tengah dorongan global menuju digitalisasi dan efisiensi, sektor konstruksi perlahan tapi pasti mengadopsi teknologi baru seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), hingga Virtual Reality (VR). Namun, adopsi teknologi ini tidak terjadi dalam ruang hampa—faktor budaya memainkan peran penting yang kerap diabaikan.
Amir Bashir, melalui tesisnya di Anadolu University, menawarkan analisis komparatif lintas budaya tentang bagaimana insinyur konstruksi di dua negara berkembang—India dan Turki—menanggapi dan mengadopsi teknologi canggih. Penelitian ini menggabungkan Technology Acceptance Model (TAM) dengan dimensi budaya Hofstede, menghasilkan pemetaan perilaku adopsi teknologi yang dipengaruhi oleh karakteristik individu dan norma sosial.
Latar Belakang: Industri 4.0 dan Tantangan Adopsi Teknologi di Negara Berkembang
Revolusi Industri 4.0 mendorong transformasi digital di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, di banyak negara berkembang, proses ini dihambat oleh keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, dan terutama—budaya kerja. Teknologi hanya efektif bila diterima dan digunakan secara aktif oleh penggunanya.
India dan Turki dipilih sebagai objek penelitian karena perbedaan signifikan dalam empat dimensi budaya menurut Hofstede:
- Power Distance: India (77), Turki (66)
- Masculinity: India (48), Turki (37)
- Individualism: India (56), Turki (45)
- Uncertainty Avoidance: India (40), Turki (85)
Perbedaan ini diprediksi memengaruhi cara insinyur merespons teknologi baru di lingkungan kerja mereka.
Metodologi: Gabungan TAM, SEM, dan Hofstede
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dan menyebarkan 600 kuesioner kepada insinyur di India dan Turki. Dari 462 responden yang valid (214 India, 248 Turki), analisis dilakukan untuk menguji:
- Perceived Ease of Use (PEOU)
- Perceived Usefulness (PU)
- Facilitating Conditions (FC)
- Behavioral Intention (BI)
- Actual Usage (AU)
Selain itu, dimensi budaya Hofstede dijadikan variabel moderasi untuk menguji sejauh mana budaya individu mempengaruhi niat dan perilaku penggunaan teknologi.
Hasil Kunci: Perbedaan Lintas Budaya yang Signifikan
Temuan Utama:
- Perceived Ease of Use dan Perceived Usefulness memiliki pengaruh langsung terhadap niat menggunakan teknologi di kedua negara.
- Facilitating Conditions lebih berpengaruh di Turki, yang menunjukkan pentingnya dukungan organisasi dan infrastruktur.
- Power Distance dan Uncertainty Avoidance secara signifikan memoderasi hubungan antara niat dan perilaku aktual di Turki, namun tidak di India.
- Individualism justru berperan besar di India, mencerminkan kecenderungan insinyur untuk bertindak mandiri dalam pengambilan keputusan teknologi.
Studi Kasus Nyata:
Di India, sejumlah perusahaan konstruksi mengadopsi BIM berbasis cloud untuk efisiensi desain, namun sering kali hanya digunakan oleh segelintir staf teknis.
Di Turki, adopsi VR dalam pelatihan keselamatan meningkat berkat dukungan pemerintah lokal dan lembaga pelatihan vokasi.
Analisis Tambahan: Dimensi Budaya sebagai Katalis atau Penghambat?
1. Power Distance:
Tingginya power distance di kedua negara menciptakan hirarki ketat, yang bisa menghambat inovasi. Di Turki, insinyur cenderung menunggu perintah dari atasan sebelum mencoba teknologi baru.
2. Uncertainty Avoidance:
Turki memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi (85), yang mendorong resistensi terhadap teknologi baru yang dianggap "belum terbukti". Hal ini menjelaskan perlunya pelatihan intensif dan proof of concept yang kuat.
3. Individualism:
India cenderung lebih individualistis, memungkinkan insinyur mengambil keputusan secara mandiri. Namun, ini juga menciptakan tantangan dalam kolaborasi tim lintas departemen.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Berbeda dengan riset teknologi sebelumnya yang lebih fokus pada aspek teknis atau organisasi, tesis ini menyoroti aspek psikososial dan budaya. Pendekatan ini mirip dengan studi Srite dan Karahanna (2006) yang juga mengadaptasi TAM dengan dimensi budaya pada tingkat individu. Namun, Amir Bashir melangkah lebih jauh dengan menggabungkan model TAM, TAM 2, dan UTAUT secara sistematis.
Implikasi Praktis
Untuk Industri Konstruksi:
- Pentingnya pelatihan berbasis budaya: Desain pelatihan teknologi harus mempertimbangkan dimensi budaya dominan.
- Perlu kebijakan diferensiasi regional: Strategi implementasi teknologi sebaiknya disesuaikan dengan konteks budaya lokal.
Untuk Pemerintah dan Regulator:
- Dukungan infrastruktur teknologi perlu diseimbangkan dengan program literasi digital yang mengedepankan konteks sosial.
- Stimulus adopsi teknologi harus mempertimbangkan insentif sosial, bukan hanya finansial.
Kritik dan Keterbatasan
Kelebihan:
- Menggabungkan berbagai model penerimaan teknologi dengan pendekatan budaya mikro
- Menyediakan data kuantitatif lintas negara dengan validitas statistik tinggi
Kelemahan:
- Responden terbatas pada insinyur, belum mencakup pekerja operasional dan manajer proyek
- Tidak memperhitungkan faktor kebijakan nasional atau iklim politik yang bisa memengaruhi adopsi teknologi
Saran:
Penelitian lanjutan dapat memperluas cakupan ke wilayah Asia Tenggara atau Afrika untuk menguji generalisasi model. Selain itu, perlu eksplorasi faktor gender dan usia yang lebih mendalam dalam konteks sosial patriarkal.
Kesimpulan: Merancang Teknologi dengan Lensa Budaya
Tesis ini membuktikan bahwa adopsi teknologi bukan hanya soal efisiensi dan efektivitas, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan nilai budaya. Di era globalisasi, pemahaman lintas budaya menjadi prasyarat dalam mendesain sistem teknologi yang inklusif dan adaptif.
Model integratif yang ditawarkan dapat menjadi acuan bagi praktisi dan pembuat kebijakan untuk merancang strategi implementasi teknologi yang responsif terhadap keragaman budaya.
Sumber
Bashir, Amir. (2019). Cross-Cultural Comparison in the Adoption of Emerging Technologies in Construction Industry. Anadolu University.