Memetakan Jejak Nyamuk Aedes Aegypti: Analisis Spasial Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue di Jawa Timur
Demam Berdarah Dengue (DBD), atau yang lebih dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), tetap menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti ini dikenal dengan manifestasi klinis yang luas, dari demam ringan hingga bentuk parah yang dapat menyebabkan syok dan bahkan kematian. Terlepas dari upaya mitigasi dan pencegahan yang terus-menerus digalakkan, insidensi DHF masih menunjukkan fluktuasi dan bahkan kecenderungan peningkatan di beberapa wilayah, terutama saat musim hujan.
Dalam konteks ini, tesis berjudul "Model Spasial Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Provinsi Jawa Timur Tahun 2014" oleh Hasirun menawarkan perspektif yang krusial. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi faktor-faktor risiko DHF secara umum, tetapi juga memanfaatkan kekuatan analisis spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memahami bagaimana faktor-faktor ini terdistribusi secara geografis di Jawa Timur. Pendekatan ini esensial untuk merancang strategi pencegahan dan pengendalian yang lebih tepat sasaran, efisien, dan berbasis bukti di wilayah dengan karakteristik geografis dan demografis yang kompleks.
Demam Berdarah Dengue: Ancaman yang Tak Pernah Padam
DHF telah menjadi masalah kesehatan global, terutama di negara-negara tropis dan subtropis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa 2,5 miliar orang di seluruh dunia berisiko terinfeksi Dengue, dengan 50 juta kasus baru setiap tahunnya. Tingkat kematian (CFR) global mencapai 2,5%, dan di Indonesia, meskipun telah ada penurunan CFR, jumlah kasus tetap tinggi.
Di Indonesia, DHF telah menjadi penyakit endemis yang menyerang hampir seluruh wilayah provinsi. Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, DHF telah menyebar luas. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi terpadat dan dinamis di Indonesia, menjadi salah satu wilayah dengan beban DHF yang signifikan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, terjadi lonjakan kasus DHF pada tahun 2010 dan 2013, dengan lebih dari 20.000 kasus di masing-masing tahun tersebut. Meskipun ada penurunan kasus pada tahun 2014 (menjadi 6.309 kasus), angka ini tetap memerlukan perhatian serius, apalagi dengan 71 kematian yang tercatat.
Penyebaran DHF sangat bergantung pada tiga faktor utama: keberadaan virus Dengue, populasi nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor, dan populasi manusia sebagai host. Interaksi kompleks antara ketiga komponen ini, ditambah dengan faktor lingkungan dan perilaku, menciptakan kondisi yang ideal bagi penularan penyakit. Oleh karena itu, memahami faktor risiko tidak cukup hanya dengan menganalisis statistik agregat; diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana faktor-faktor ini bermanifestasi secara spasial.
Landasan Teoritis dan Faktor Risiko Kritis
Penelitian ini mendasarkan diri pada konsep ekologi penyakit, di mana interaksi antara agen (virus), host (manusia), vektor (nyamuk), dan lingkungan menentukan pola penyebaran penyakit. Secara khusus, studi ini mengidentifikasi beberapa faktor risiko kunci yang memengaruhi kejadian DHF:
-
Faktor Lingkungan Fisik:
- Ketinggian Tempat: Nyamuk Aedes aegypti memiliki preferensi ketinggian tertentu. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kasus DHF umumnya banyak ditemukan di daerah dengan ketinggian antara 10-1.000 meter di atas permukaan laut. Di luar rentang ini, kepadatan nyamuk cenderung menurun.
- Curah Hujan: Hujan yang tidak teratur, baik terlalu sedikit atau terlalu banyak, dapat menciptakan tempat perindukan nyamuk. Curah hujan yang berlebihan dapat membersihkan tempat perindukan, tetapi juga dapat menciptakan genangan air baru. Curah hujan yang rendah namun sporadis dapat memperparah kondisi.
- Kepadatan Bangunan: Semakin tinggi kepadatan bangunan, semakin banyak potensi tempat penampungan air dan juga meningkatkan interaksi antar manusia, yang mempercepat penularan.
-
Faktor Lingkungan Biologis:
- Kelembaban Udara: Kelembaban tinggi mendukung kelangsungan hidup nyamuk dewasa.
- Kepadatan Penduduk: Semakin padat penduduk, semakin besar peluang nyamuk untuk menemukan host dan menularkan virus. Angka bebas jentik (ABJ) juga menjadi indikator penting kepatuhan masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk.
-
Faktor Sosial Ekonomi:
- Pendidikan: Tingkat pendidikan masyarakat memengaruhi kesadaran dan praktik kebersihan lingkungan, serta partisipasi dalam program pencegahan DHF.
- Pendapatan: Pendapatan dapat memengaruhi kualitas rumah, akses terhadap air bersih, dan kemampuan membeli peralatan pencegahan nyamuk.
- Perilaku Masyarakat: Meliputi praktik 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang plus mencegah gigitan nyamuk) dan partisipasi dalam kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
Metodologi: Pendekatan Spasial yang Inovatif
Penelitian ini mengadopsi desain observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional, menggunakan data tahun 2014. Populasi penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, dengan 38 unit analisis (38 kabupaten/kota). Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber kredibel, termasuk:
- Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur: Data kasus DHF per kabupaten/kota, angka bebas jentik (ABJ), dan kepadatan penduduk.
- Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur: Data kepadatan bangunan dan curah hujan.
- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG): Data ketinggian tempat dan kelembaban udara.
Salah satu kekuatan utama penelitian ini adalah penggunaan analisis spasial dengan Model Spasial Regresi (Spatial Regression Model). Metode ini dipilih karena mengakomodasi karakteristik data spasial, di mana nilai suatu lokasi dapat dipengaruhi oleh nilai lokasi di sekitarnya (autokorelasi spasial). Autokorelasi spasial adalah fenomena umum dalam data geografis, dan mengabaikannya dalam analisis regresi dapat menyebabkan hasil yang bias dan tidak efisien. Model ini memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur seberapa besar pengaruh variabel-variabel independen terhadap kejadian DHF, sambil mempertimbangkan interaksi spasial antar wilayah.
Tahapan analisis data meliputi:
- Analisis Statistik Deskriptif: Memberikan gambaran umum tentang karakteristik variabel-variabel penelitian.
- Uji Autokorelasi Spasial Global (Moran’s I): Untuk mengetahui apakah ada pola spasial yang signifikan dalam kejadian DHF di Jawa Timur. Jika nilai Moran’s I positif dan signifikan, berarti ada pengelompokan spasial (hotspot atau coldspot).
- Uji Autokorelasi Spasial Lokal (LISA): Untuk mengidentifikasi klaster-klaster (hotspot dan coldspot) kasus DHF secara lebih spesifik di tingkat kabupaten/kota.
- Pemilihan Model Regresi Spasial:
- Ordinary Least Squares (OLS): Model regresi standar sebagai pembanding.
- Spatial Lag Model (SLM): Mengasumsikan bahwa kejadian DHF di suatu wilayah dipengaruhi oleh kejadian DHF di wilayah tetangga.
- Spatial Error Model (SEM): Mengasumsikan bahwa ada kesalahan spasial yang terlewat dalam model, yang mungkin disebabkan oleh variabel tidak terukur atau shock eksternal yang memengaruhi wilayah tetangga. Pemilihan model terbaik dilakukan dengan membandingkan nilai likelihood ratio dan signifikansi statistik.
- Pemetaan Spasial: Menggunakan SIG (misalnya, ArcGIS atau QGIS) untuk memvisualisasikan distribusi faktor risiko dan kejadian DHF.
Hasil Kritis: Menguak Peta Risiko DHF Jawa Timur
Temuan dari penelitian ini sangat informatif dan memiliki implikasi praktis yang kuat:
-
Autokorelasi Spasial DHF di Jawa Timur:
- Hasil uji Moran’s I (0,379 dengan p-value < 0,05) menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif yang signifikan pada kejadian DHF di Jawa Timur. Ini berarti, kabupaten/kota dengan kasus DHF tinggi cenderung dikelilingi oleh kabupaten/kota dengan kasus DHF tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Fenomena ini sangat penting karena menunjukkan bahwa penularan DHF tidak terjadi secara acak, melainkan menyebar secara geografis.
- Analisis klaster LISA mengidentifikasi:
- Hotspot (High-High Cluster): Klaster kasus DHF tinggi yang dikelilingi oleh kasus tinggi, ditemukan di wilayah Surabaya dan Sidoarjo. Ini mengindikasikan perlunya intervensi yang sangat intensif dan terkoordinasi di area metropolitan ini.
- Coldspot (Low-Low Cluster): Klaster kasus DHF rendah yang dikelilingi oleh kasus rendah, ditemukan di wilayah Lumajang, Probolinggo, dan Bondowoso. Area ini mungkin memiliki faktor pelindung tertentu atau karakteristik lingkungan yang tidak mendukung penularan DHF.
- Outlier (High-Low / Low-High): Daerah dengan kasus tinggi dikelilingi rendah atau sebaliknya, yang menunjukkan anomali dan mungkin memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
-
Model Regresi Spasial Terbaik: Spatial Lag Model (SLM)
- Berdasarkan uji perbandingan, Spatial Lag Model (SLM) terbukti menjadi model terbaik untuk menjelaskan kejadian DHF di Jawa Timur. Ini menegaskan bahwa kejadian DHF di suatu kabupaten/kota memang sangat dipengaruhi oleh kejadian DHF di kabupaten/kota tetangganya (terdapat efek spillover). Parameter rho (koefisien spatial lag) yang signifikan menunjukkan kuatnya ketergantungan spasial ini.
-
Faktor Risiko Utama DHF:
- Ketinggian Tempat: Memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kejadian DHF. Artinya, semakin tinggi ketinggian tempat, semakin tinggi pula kejadian DHF. Temuan ini mengejutkan karena secara teori nyamuk Aedes aegypti lebih suka ketinggian sedang. Namun, hasil ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati. Mungkin saja pada ketinggian tertentu di Jawa Timur, kondisi lingkungan (misalnya, topografi yang membentuk genangan air, atau perilaku masyarakat yang kurang menyadari risiko DHF di dataran tinggi) justru mendukung perkembangbiakan nyamuk. Bisa juga, pada ketinggian tertentu, fluktuasi suhu yang ekstrem saat malam membuat masyarakat lebih sering di dalam rumah, sehingga lebih terpapar gigitan nyamuk.
- Kepadatan Bangunan: Memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kejadian DHF. Semakin padat bangunan, semakin tinggi kasus DHF. Ini sangat logis, karena kepadatan bangunan seringkali berbanding lurus dengan kepadatan penduduk, ketersediaan tempat perindukan buatan (bak mandi, tempayan), dan mobilitas manusia, yang semuanya mendukung penularan.
- Angka Bebas Jentik (ABJ): Memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kejadian DHF. Semakin tinggi ABJ (artinya semakin sedikit jentik nyamuk), semakin rendah kejadian DHF. Ini adalah temuan krusial yang mengkonfirmasi efektivitas program PSN dan pentingnya partisipasi masyarakat dalam membersihkan sarang nyamuk.
- Variabel Lain (Curah Hujan, Kelembaban Udara, Kepadatan Penduduk): Ditemukan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian DHF dalam model ini. Ini tidak berarti variabel-variabel ini tidak penting sama sekali, tetapi mungkin pengaruhnya tidak sekuat atau tidak langsung seperti variabel lain dalam konteks spasial atau pada tahun studi ini. Bisa jadi pengaruhnya lebih bersifat non-linear atau dimediasi oleh faktor lain yang tidak teridentifikasi.
Implikasi Kebijakan: Mencegah DHF dengan Pendekatan Spasial
Hasil penelitian ini memiliki implikasi kebijakan yang sangat penting untuk upaya pencegahan dan pengendalian DHF di Jawa Timur:
- Fokus pada Hotspot: Intervensi pencegahan harus lebih intensif dan terkoordinasi di wilayah hotspot DHF seperti Surabaya dan Sidoarjo. Ini bisa berupa peningkatan frekuensi fogging, penyuluhan masif, pengerahan juru pemantau jentik (Jumantik) secara lebih luas, dan kampanye PSN yang lebih gencar.
- Optimalisasi Program PSN dan Peningkatan ABJ: Mengingat ABJ terbukti menjadi faktor pelindung yang signifikan, penguatan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) harus menjadi prioritas. Ini mencakup edukasi berkelanjutan kepada masyarakat tentang pentingnya 3M Plus, penyediaan abate, dan mendorong peran aktif komunitas dalam menjaga kebersihan lingkungan.
- Manajemen Kepadatan Bangunan dan Urbanisasi: Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan dampak kepadatan bangunan terhadap risiko DHF dalam perencanaan tata ruang dan pengembangan kota. Regulasi terkait pengelolaan limbah dan ketersediaan air bersih di area padat penduduk juga perlu diperkuat.
- Kajian Lebih Lanjut tentang Ketinggian Tempat: Temuan tentang pengaruh positif ketinggian tempat memerlukan investigasi lebih lanjut. Apakah ada pola perilaku masyarakat di dataran tinggi yang meningkatkan risiko? Atau adakah kondisi lingkungan mikro yang mendukung nyamuk di luar prediksi umum?
- Pemanfaatan SIG untuk Surveilans dan Intervensi: Studi ini adalah contoh nyata bagaimana SIG dapat menjadi alat yang ampuh untuk surveilans DHF. Dinas Kesehatan dan pemangku kepentingan terkait harus terus menginvestasikan sumber daya dalam pengembangan basis data spasial dan kemampuan analisis SIG untuk memantau tren DHF secara real-time dan merencanakan intervensi yang lebih responsif.
- Kerja Sama Antar Wilayah: Adanya autokorelasi spasial menunjukkan bahwa kejadian DHF di satu wilayah dapat memengaruhi wilayah tetangga. Oleh karena itu, strategi pencegahan DHF harus melibatkan koordinasi yang kuat antar kabupaten/kota, terutama di wilayah perbatasan atau di sekitar hotspot. Program pencegahan DHF tidak boleh berhenti di batas administratif.
Nilai Tambah dan Refleksi Kritis
Tesis Hasirun ini memberikan kontribusi penting bagi epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Keunggulan utamanya terletak pada penggunaan analisis spasial yang canggih, yang seringkali terabaikan dalam studi epidemiologi konvensional. Dengan mengaplikasikan Model Spasial Regresi, penelitian ini mampu menangkap dinamika penularan DHF yang bersifat geografis, yang lebih realistis dan informatif daripada asumsi independensi observasi pada model regresi non-spasial.
Kelebihan Studi:
- Pendekatan Spasial yang Kuat: Penggunaan SIG dan model regresi spasial adalah keunggulan utama, memungkinkan identifikasi hotspot dan coldspot serta pemahaman tentang efek spillover DHF.
- Relevansi Kebijakan: Hasil penelitian memberikan panduan yang jelas untuk alokasi sumber daya dan perumusan kebijakan yang lebih efektif dalam program pencegahan DHF.
- Dasar Data yang Komprehensif: Penggunaan data dari berbagai sumber resmi meningkatkan kredibilitas temuan.
Kritik dan Saran untuk Penelitian Mendatang:
- Faktor Perilaku dan Sosial-Ekonomi Lebih Detail: Meskipun disinggung secara teoritis, variabel perilaku individu dan sosial-ekonomi (selain kepadatan penduduk) tidak secara signifikan termuat dalam model akhir. Penelitian mendatang dapat mengintegrasikan data perilaku (misalnya, kebiasaan membersihkan bak mandi, penggunaan kelambu) dan variabel sosial-ekonomi yang lebih rinci (misalnya, tingkat pendidikan kepala keluarga, akses air bersih di rumah tangga) dalam analisis spasial. Data ini mungkin perlu dikumpulkan melalui survei primer.
- Analisis Jangka Panjang (Time Series Spasial): Studi ini bersifat cross-sectional (data satu tahun). Menggabungkan data spasial dengan data time series (misalnya, selama 5-10 tahun) akan memungkinkan analisis tren spasial DHF dari waktu ke waktu dan memprediksi wabah musiman dengan lebih baik.
- Variabel Iklim Mikro: Curah hujan dan kelembaban udara tidak signifikan, namun ini mungkin disebabkan oleh skala data (kabupaten/kota). Variabel iklim mikro pada tingkat yang lebih rendah (misalnya, kelurahan atau desa) mungkin menunjukkan pengaruh yang lebih jelas.
- Data Vektor: Ketiadaan data langsung mengenai kepadatan nyamuk atau breeding sites (tempat perindukan) di setiap wilayah adalah keterbatasan. Meskipun ABJ adalah proksi yang baik, pengukuran langsung dapat memberikan pemahaman yang lebih akurat tentang populasi vektor.
- Penerapan Model Prediksi: Setelah mengidentifikasi faktor-faktor risiko, langkah selanjutnya yang sangat aplikatif adalah mengembangkan model prediksi risiko DHF yang dapat digunakan oleh dinas kesehatan untuk mengantisipasi wabah.
- Studi Intervensi Berbasis Spasial: Temuan ini dapat menjadi dasar untuk merancang dan mengevaluasi efektivitas intervensi pencegahan DHF yang ditargetkan secara spasial.
Secara keseluruhan, tesis Hasirun ini adalah kontribusi yang solid dan relevan terhadap pemahaman kita tentang DHF di Jawa Timur. Dengan memadukan epidemiologi dengan analisis spasial yang canggih, studi ini membuka jalan bagi strategi pengendalian DHF yang lebih cerdas, proaktif, dan berorientasi pada lokasi. Ini adalah bukti nyata bahwa data geografis, jika dianalisis dengan benar, dapat menjadi senjata ampuh dalam perang melawan penyakit menular.
Sumber Artikel:
Hasirun. (2016). MODEL SPASIAL FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014. Tesis. Universitas Airlangga, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Magister, Program Studi Epidemiologi, Surabaya. Tersedia melalui ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.