Pendahuluan: Menjawab Ancaman Karbon dari Industri Konstruksi
Industri konstruksi dunia tengah menghadapi krisis: di satu sisi menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur, di sisi lain menyumbang sekitar 8–10% emisi karbon global, terutama dari produksi semen. Dalam situasi inilah muncul kebutuhan akan material alternatif yang lebih ramah lingkungan, berkelanjutan, dan ekonomis. Salah satu kandidat inovatif yang dikaji dalam disertasi karya Oh Jia Wei (2017) adalah rumput laut—lebih tepatnya spesies Gracilaria—yang dimanfaatkan sebagai bahan pengganti sebagian semen dalam mortar.
Disertasi ini tidak hanya memaparkan potensi teoritis biokomposit rumput laut, tetapi juga menyajikan uji laboratorium yang ketat: dari kuat tekan, karakterisasi termal, hingga serapan air. Dengan pendekatan eksperimental menyeluruh, penelitian ini menandai langkah nyata menuju material konstruksi hijau yang terjangkau dan adaptif.
Apa Itu Biokomposit Rumput Laut?
Biokomposit adalah material campuran antara polimer (baik alami maupun sintetis) dengan serat penguat alami. Dalam konteks ini, rumput laut (Gracilaria sp.) berfungsi sebagai bahan pengganti sebagian semen dalam campuran mortar. Rumput laut dipilih karena karakteristiknya:
- Kandungan polisakarida tinggi, seperti agar dan agaropektin
- Kemampuan menahan air tinggi (water retention)
- Daya ikat kimia yang baik karena gugus hidroksil
- Kemampuan isolasi panas dan suara
Namun, sebelum rumput laut dapat digunakan sebagai bahan bangunan, ia harus diproses menjadi bentuk granula atau abu melalui pengeringan dan pembakaran.
Metodologi Penelitian: Dari Laut ke Mortar
Proses Pra-Pengolahan
1. Pengumpulan sampel dilakukan di Pulau Sayak, Kedah, Malaysia.
2. Pencucian & penetralan pH: Sampel rumput laut dicuci hingga mencapai pH netral (~6.5–6.9).
3. Pengeringan:
- Oven drying (105°C selama 24 jam)
- Sun drying (selama 3 hari)
4. Pembakaran: Sebagian sampel dikalsinasi di muffle furnace pada suhu 600°C selama 3 jam untuk menghasilkan abu (seaweed ash).
5. Karakterisasi material dilakukan melalui:
- FESEM (pengamatan morfologi)
- BET (analisis luas permukaan)
- DSC dan XRD (sifat termal & kristalinitas)
Uji Kuat Tekan dan Serapan Air
Mortar disiapkan dalam tiga variasi:
- Kontrol (0% rumput laut)
- Campuran dengan 5% dan 15% pengganti semen (granula atau abu rumput laut)
- Setiap variasi diuji setelah 7, 14, dan 28 hari
Hasil Utama: Data, Analisis, dan Temuan Penting
1. Kuat Tekan Meningkat pada 15% Abu Rumput Laut
Sampel 15% seaweed ash menunjukkan kuat tekan tertinggi 30.76 MPa pada hari ke-28, bahkan melampaui kontrol (29.60 MPa).
Granula rumput laut (baik sun dried maupun oven dried) cenderung memiliki performa lebih rendah dari kontrol, namun tetap menunjukkan kekuatan signifikan.
2. Serapan Air Lebih Rendah pada Abu Rumput Laut
Mortar dengan seaweed ash menunjukkan volume void total yang lebih rendah, artinya lebih padat dan tahan terhadap infiltrasi air.
Hal ini mendukung ketahanan jangka panjang terhadap cuaca dan kondisi lembap.
3. Performa Termal yang Baik
Analisis DSC menunjukkan bahwa abu rumput laut memiliki stabilitas termal tinggi, menjadikannya cocok untuk aplikasi di wilayah tropis.
Studi Kasus: Potensi Penerapan di Dunia Nyata
A. Malaysia
Sebagai negara penghasil rumput laut dan semen, Malaysia berpotensi besar mengadopsi material ini dalam proyek perumahan bersubsidi, khususnya di daerah pesisir seperti Sabah dan Sarawak.
B. Indonesia
Kepulauan Indonesia sangat kaya akan spesies rumput laut seperti Eucheuma cottonii. Pemanfaatan lokal bisa menekan biaya produksi sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor semen.
C. Jerman & Inggris
Studi terdahulu di Eropa telah menunjukkan bahwa seaweed bisa digunakan sebagai insulasi termal dan penguat bata tanah liat tanpa pembakaran. Hal ini membuka potensi diversifikasi fungsi material rumput laut.
Nilai Tambah dan Kritik
Kelebihan:
- Menawarkan solusi nyata untuk mengurangi emisi karbon dari semen.
- Menggunakan limbah laut yang melimpah dan tidak bersaing dengan pangan.
- Daya tekan meningkat secara signifikan pada sampel yang tepat (15% abu).
Kekurangan:
- Studi terbatas pada skala laboratorium; belum diuji dalam aplikasi struktural besar.
- Beberapa bentuk pengolahan seperti sun dried masih menunjukkan kinerja rendah.
- Belum ada studi ekonomi rinci terkait biaya produksi massal.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian oleh Zahra Ghinaya dan Alias Masek (2021) dalam ASEAN Journal of Science and Engineering menemukan bahwa seaweed mortar meningkatkan kuat tekan hingga 12%.
Hasil Jia Wei membuktikan peningkatan lebih tinggi pada kadar dan bentuk tertentu (yakni seaweed ash 15%).
Ini mengindikasikan bahwa pra-perlakuan dan pembakaran adalah kunci utama dalam memaksimalkan performa biokomposit ini.
Implikasi Industri dan Rekomendasi
1. Skalabilitas & Komersialisasi
Pemerintah dapat menggandeng startup material lokal untuk memproduksi mortar campuran rumput laut dalam skala industri.
2. Standardisasi dan Sertifikasi Diperlukan standar khusus untuk komposisi dan metode pra-perlakuan agar material ini bisa digunakan dalam proyek konstruksi publik.
3. Peluang Penelitian Lanjut Perlu eksplorasi lebih lanjut terhadap:
- Penggunaan seaweed dalam beton (bukan hanya mortar)
- Kombinasi dengan limbah lain seperti fly ash atau slag
- Ketahanan terhadap cuaca ekstrem dan korosi
Kesimpulan: Inovasi Hijau yang Siap Menantang Beton Konvensional?
Disertasi Oh Jia Wei menghadirkan satu pesan kuat: rumput laut bukan hanya makanan, tetapi juga masa depan material bangunan hijau. Dengan performa tekan yang mampu menyamai—bahkan melampaui—mortar biasa, serta manfaat lingkungan yang signifikan, inovasi ini memiliki peluang nyata untuk menggeser dominasi semen di masa depan.
Kuncinya adalah skala produksi, standardisasi mutu, dan dukungan industri. Jika ketiga elemen ini dipenuhi, maka seaweed biocomposite bukan lagi sekadar eksperimen akademik, tetapi solusi konkret untuk industri konstruksi berkelanjutan.
Sumber:
Oh Jia Wei. (2017). Seaweed Biocomposite as a Green Construction Material. Universiti Teknologi PETRONAS.