BIM vs Metode Konvensional dalam RAB Konstruksi: Studi Kasus Proyek Pasar Pecatu

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

25 April 2025, 06.18

freepik.com

Dalam era digitalisasi yang menyentuh semua sektor industri, dunia konstruksi tak boleh tertinggal. Salah satu inovasi paling signifikan adalah Building Information Modeling (BIM)—sebuah pendekatan cerdas untuk merancang, membangun, dan mengelola infrastruktur secara terintegrasi. Artikel ini mengupas tuntas perbandingan antara metode BIM dan metode konvensional dalam menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek konstruksi, dengan studi kasus proyek pembangunan pasar Desa Adat Pecatu, Bali.

Mengapa BIM Penting dalam Estimasi Biaya Konstruksi?

Estimasi biaya adalah salah satu elemen paling krusial dalam proyek konstruksi. Kesalahan kecil dalam perhitungan volume atau harga satuan dapat menyebabkan pembengkakan biaya yang signifikan. Di sinilah BIM menawarkan keunggulan: akurasi, efisiensi waktu, dan kolaborasi lintas fungsi yang lebih baik.

BIM bukan hanya sekadar model 3D. Dalam konteks artikel ini, digunakan juga pendekatan 5D—menggabungkan dimensi biaya ke dalam model visual. Dengan software seperti Tekla Structure, tim proyek dapat menghitung volume setiap elemen struktur secara otomatis, lalu mengalikan dengan harga satuan pekerjaan untuk memperoleh estimasi total biaya.

Studi Kasus: Proyek Pasar Desa Adat Pecatu

Proyek ini berlokasi di Jl. Raya Uluwatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Sebagai proyek strategis pemerintah dengan pendanaan dari APBD Badung, pembangunan pasar ini melibatkan struktur kompleks dari pondasi hingga atap baja dan kayu.

Tahapan Pekerjaan dalam BIM:

  1. Pemodelan 3D:
    • Dimulai dari grid dasar, pondasi setempat, sloof, kolom, balok, pelat lantai, hingga tangga dan atap.
    • Pemodelan dibuat dari gambar 2D (AutoCAD) ke model 3D menggunakan Tekla Structure.
  2. Quantity Take Off (QTO):
    • Setelah model selesai, software menghitung volume elemen struktural.
    • Hasil kuantifikasi diekspor ke Microsoft Excel dalam format Product Breakdown Structure (PBS).
  3. Estimasi Biaya:
    • Volume item dikalikan harga satuan untuk mendapatkan total biaya.
    • Proses ini disebut pemodelan 5D karena menggabungkan dimensi biaya dengan visualisasi 3D.

Perbandingan Hasil: BIM vs Metode Konvensional

Estimasi Biaya:

  • Metode Konvensional menghasilkan RAB sebesar: Rp 5.856.879.650,41
  • Metode BIM (Tekla Structure) menghasilkan estimasi: Rp 5.746.833.111,23

Selisih Biaya:

  • Selisih sebesar Rp 110.046.539,18, atau lebih rendah 1,88% dari metode konvensional.

Efisiensi Volume:

  • Selisih volume antara metode BIM dan konvensional mencapai 6%, mengindikasikan perbedaan signifikan dalam akurasi perhitungan.

Manfaat BIM dalam Estimasi Proyek

Berdasarkan studi ini, sejumlah keunggulan BIM diidentifikasi:

  • Akurasi Tinggi: Volume yang dihitung berasal langsung dari model digital, menghindari kesalahan hitungan manual.
  • Efisiensi Waktu: Proses QTO otomatis mempercepat pekerjaan estimator.
  • Hemat Tenaga Kerja: Dibanding metode konvensional, BIM mengurangi kebutuhan akan SDM secara signifikan.
  • Visualisasi Realistis: Klien dan stakeholder dapat melihat bangunan secara virtual sebelum dibangun.

Penulis juga mengutip beberapa studi lain yang memperkuat manfaat BIM:

  • Penghematan waktu hingga 50%
  • Reduksi kebutuhan SDM hingga 26,66%
  • Penghematan biaya mencapai 52,25% (Berlian et al., 2016)

Kekurangan dan Tantangan BIM

Meski menjanjikan, implementasi BIM tetap memiliki hambatan:

  • Butuh perangkat keras tinggi: Laptop/komputer dengan spesifikasi tinggi agar software berjalan optimal.
  • Kurangnya literatur teknis: Penggunaan Tekla untuk estimasi masih minim referensi lokal.
  • Kebutuhan SDM terampil: Estimator tetap harus memahami teknik sipil dasar agar bisa memverifikasi hasil software.

Rekomendasi Strategis

Penulis memberikan saran yang sangat relevan untuk industri konstruksi Indonesia:

  1. Integrasi Sejak Awal Proyek: Penerapan BIM sebaiknya dimulai dari tahap perencanaan agar seluruh siklus proyek bisa terintegrasi.
  2. Peningkatan Kapasitas SDM: Pendidikan tinggi dan pelatihan profesional harus mendorong penguasaan BIM.
  3. Kolaborasi Multidisiplin: BIM idealnya digunakan sebagai platform bersama antara arsitek, insinyur struktur, estimator, dan kontraktor.
  4. Pengembangan Model Lebih Lanjut: BIM harus diperluas hingga mencakup penjadwalan (4D) dan pengelolaan proyek (6D–7D).

Relevansi dengan Tren Industri

Transformasi digital dalam konstruksi menjadi agenda utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Kementerian PUPR bahkan telah menggalakkan program BIM dalam proyek infrastruktur nasional. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya bermanfaat secara akademik, tetapi juga praktis dan sangat kontekstual.

Dengan pasar konstruksi Indonesia yang terus tumbuh, penerapan teknologi seperti BIM akan menjadi pembeda utama antara proyek yang efisien dan proyek yang penuh pemborosan.

Penutup: BIM sebagai Solusi Efisiensi dan Akurasi

Studi kasus pasar Desa Adat Pecatu membuktikan bahwa metode BIM bukan hanya tren, tetapi solusi nyata untuk efisiensi biaya dan waktu dalam proyek konstruksi. Selisih hampir Rp 110 juta dan pengurangan volume hingga 6% menjadi bukti konkret bagaimana pendekatan digital bisa mengubah perhitungan konvensional yang rentan kesalahan.

Dengan pengembangan SDM dan dukungan regulasi, BIM berpotensi menjadi standar emas dalam perencanaan proyek masa depan. Dunia konstruksi Indonesia harus mulai beralih dari penggaris dan kalkulator ke model 3D dan data digital.

Sumber artikel asli:
I Wayan Suasira, I Made Tapayasa, I Made Anom Santiana, I Gede Satra Wibawa. Analisis Komparasi Metode Building Information Modeling (BIM) dan Metode Konvensional pada Perhitungan RAB Struktur Proyek (Studi Kasus Pembangunan Pasar Desa Adat Pecatu). Jurnal Teknik Gradien, Vol. 13, No. 01, April 2021, Hal. 12–19.