Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja

19 Februari 2024, 07.52

www.antaranews.com

Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Indonesia, kebijakan industri farmasi dinilai perlu untuk mendorong inovasi yang menjadi kunci pengembangan sektor ini. Selain itu, upaya melawan pandemi saat ini terutama diperlukan melalui penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19 yang saat ini masih sepenuhnya diimpor. Andree Surianta, peneliti asosiasi di Pusat Studi Kebijakan Indonesia (CIPS), mengatakan industri farmasi Indonesia adalah contoh di mana berbagai kebijakan lokalisasi gagal menghasilkan investasi dan inovasi. Andree mengatakan, hal itu bermula dari Daftar Negatif Investasi [DNI] tahun 2007 yang membatasi kepemilikan asing di sektor tersebut maksimal 75%. Tak lama kemudian, muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia harus diproduksi secara lokal.

Kemudian terjadi sedikit kelonggaran pada tahun 2016, dimana kepemilikan asing diperbolehkan 100 persen untuk pembuatan bahan baku obat dan 85 persen untuk pembuatan obat jadi. "Namun peraturan ini segera ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga untuk mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, seperti pengaturan kandungan lokal, pengutamaan produk lokal, dan penetapan harga," ujarnya dalam rilis CIPS, Sabtu (31 Juli 2021).

Andree mengatakan, latar belakang berbagai kebijakan tersebut biasanya untuk mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Sayangnya, realisasi investasi asing dan dalam negeri biasanya langsung turun setelah kebijakan lokalisasi diterbitkan. Kebijakan lokalisasi tahun 2007-2008 diikuti dengan rendahnya realisasi investasi pada tahun 2009-2014. Investasi meningkat dibandingkan tahun 2015, ketika pasar baru dibuka dengan diluncurkannya JKN. “Diseret lagi setelah tahun 2016 karena tumpang tindih peraturan,” ujarnya. Meski saat ini Perpres 10/2021 tentang Penanaman Modal pelaksanaan UU Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, namun semangat lokalisasi Perpres 6/2016 menyebabkan munculnya berbagai perintah menteri yang bersifat restriktif. Misalnya saja aturan penghitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) obat. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang diterbitkan di tengah pandemi. Memang benar saat ini sertifikat TKDN belum bersifat wajib, namun ketika diterapkan harus dipastikan tidak ada kekurangan obat, karena industri farmasi dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor. “Ratusan bahan dasar dibutuhkan untuk membuat obat, termasuk vaksin. Pada saat yang sama, tidak semua bahan tersebut diproduksi di Indonesia. Pemberlakuan TKDN malah bisa mempersulit pengembangan kapasitas produsen lokal. , pemerintah harus membuka jalur impor bahan baku farmasi,” jelas Andree.

Pemerintah umumnya percaya bahwa tindakan pembatasan tidak mengurangi daya tarik masyarakat. Namun, nilai riil pasar farmasi Indonesia relatif kecil, hanya sekitar 1 persen dari dua pasar terbesar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok. Aljasil, peraturan yang memaksa perusahaan membangun pabrik baru di Indonesia justru dapat menurunkan efisiensi pabrik yang dibangun di pasar lain yang jauh lebih besar. Bagi perusahaan farmasi multinasional Indonesia, kombinasi biaya yang lebih tinggi dan pasar yang lebih kecil menghasilkan ROI yang lebih rendah. Pasar yang menawarkan imbal hasil lebih rendah dan waktu pemulihan investasi yang lebih lama tentu saja tidak menarik bagi investor. Andree mengatakan bahwa kerja sama dengan mitra lokal juga menghambat inovasi di bidang ini.

Sebaliknya, perusahaan multinasional asing enggan membagi hak kekayaan intelektualnya dengan perusahaan lokal yang mungkin menjadi pesaingnya. Apalagi jika calon mitra tidak pernah menyumbang biaya litbang yang tidak sedikit. Di sisi lain, peraturan tersebut berarti bahwa perusahaan lokal lebih menunggu tawaran kemitraan daripada berinvestasi dalam pengembangan produk mereka sendiri. “Dampak negatif kebijakan ini terhadap inovasi sangat jelas, karena produsen lokal fokus pada obat generik yang hanya memerlukan sedikit penelitian dan pengembangan,” tambah Andree. Di Indonesia sebenarnya sudah ada komunitas ilmiah yang siap berinovasi melawan Covid-19. Bahkan dikembangkan vaksin lokal yaitu vaksin Merah Putih. Namun semua itu masih bergantung pada pemerintah dan BUMN. Sangat disayangkan bahwa lingkungan peraturan saat ini menghalangi perusahaan untuk membangun kemampuan inovasi jangka panjang. “Daripada kebijakan lokalisasi, pemerintah harus fokus membangun ekosistem inovasi bisnis dalam negeri. Penelitian dan pengembangan yang kuat dari perusahaan lokal mengurangi ketergantungan inovasi pada anggaran negara dan meningkatkan minat investor asing dalam kemitraan sukarela dengan mitra lokal yang setara,” kata Andrew.

Disadur dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20210731/257/1424187/industri-farmasi-indonesia-sulit-berkembang-begini-ceritanya