Antara Potensi Sejarah, Krisis Lingkungan, dan Tantangan Regulasi Pengelolaan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

20 Mei 2025, 10.26

pixabay.com

Air dan Kota: Ketika Sungai Deli Menjadi Sumber Krisis

Sungai Deli pernah menjadi denyut nadi perekonomian Kesultanan Deli. Namun kini, sungai itu berubah menjadi tempat pembuangan limbah domestik dan industri. Artikel ilmiah karya Nobrya Husni (2017) berjudul “Analisis Permasalahan Pengelolaan Sungai Deli” membuka tabir kompleksitas pengelolaan sungai urban yang terjebak dalam stagnasi regulasi dan lemahnya kesadaran ekologis.

Masalah Utama: Dua Akar Krisis Sungai Deli

1. Tidak Ada Model Pengelolaan Sungai

Sungai Deli tak memiliki kerangka atau rencana induk pengelolaan. Aktivitas manusia—dari permukiman hingga industri—dibiarkan berkembang di sempadan sungai tanpa kontrol jelas. RTRW Kota Medan sebenarnya telah menetapkan batas 50 meter dari badan sungai sebagai zona lindung. Namun dalam praktiknya, batas ini dilanggar secara masif.

2. Tidak Ada Peraturan Daerah (Perda)

Ketiadaan regulasi formal di tingkat daerah membuat Sungai Deli bukan hanya tidak terlindungi, tetapi juga tidak dianggap sebagai aset strategis. Padahal nilai historis dan potensi ekonomi (misalnya pariwisata sungai) sangat besar jika dikelola dengan benar.

Potret Kerusakan: Data Pencemaran yang Mengkhawatirkan

  • DO (Oksigen Terlarut): 0,90–1,90 mg/l → sangat rendah, memperburuk kehidupan akuatik.
  • BOD: 8,99–22,50 mg/l → pencemaran organik berat.
  • Pb (Timbal): 0,407 mg/l → melebihi baku mutu.
  • Patogen: Ditemukan 9 jenis bakteri berbahaya termasuk E. coli dan Vibrio fluvialis.
  • Sumber pencemar utama: limbah domestik rumah tangga (misalnya di Kelurahan Hamdan), industri, pelabuhan, dan permukiman liar.

Bandingkan dengan Dunia: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Thailand (U-Tapao River)

Penggunaan lahan dan kualitas air sangat berkorelasi. Semakin luas pertanian dan permukiman, semakin tinggi beban pencemar. Solusi: integrasi perencanaan tata guna lahan dan pengelolaan DAS.

Malaysia (Sungai Pelus)

Pemantauan indeks kualitas air (WQI) dilakukan rutin setiap musim. WQI musim kemarau: 71,73 (baik), musim hujan: 59,90 (tercemar). Rekomendasi: pengawasan berkelanjutan dan pembatasan deforestasi.

Eropa (WFD)

Water Framework Directive (WFD) menyatukan pendekatan ekologis, sosial, dan ekonomi. Fokusnya: pemulihan biaya, keterlibatan stakeholder, dan perlindungan menyeluruh dari hulu ke hilir.

Usulan Strategis: Adaptasi Model WFD dan SA

Nobrya mengusulkan model pengelolaan Sungai Deli dengan adaptasi dari:

  • WFD (Eropa) → pendekatan berbasis DAS, indikator ekologis, peran ekonomi.
  • SA (Sustainability Appraisal) dari Inggris → model evaluasi keberlanjutan berbasis skenario dan partisipatif.

Kriteria Keberlanjutan:

  • Kesehatan & kesejahteraan
  • Kualitas lingkungan & keanekaragaman hayati
  • Penggunaan lahan efisien & risiko banjir
  • Transportasi & energi
  • Nilai historis & warisan budaya

Model terpadu ini dirancang dari identifikasi kriteria, pemetaan partisipatif, integrasi model sub-DAS, hingga elisitasi pengetahuan lokal.

Solusi dan Rekomendasi Konkret

  • Perda Sungai Deli harus dirancang dan disahkan, dengan mengadopsi pendekatan multidimensi dan keberlanjutan.
  • Model pengelolaan terpadu DAS Deli harus disusun dan dijalankan lintas sektor.
  • Evaluasi tahunan atas kualitas sungai dan dampak kegiatan ekonomi perlu dilakukan, seperti model Sungai Pelus.
  • Pariwisata berbasis sungai harus dijadikan insentif ekonomi bagi pelestarian.

Opini Penulis: Dari Sungai Mati ke Sungai Berarti

Artikel ini membongkar fakta bahwa kerusakan sungai bukan semata akibat alam, tetapi kebijakan yang tumpul dan kesadaran yang rendah. Nobrya dengan lugas menunjukkan bahwa Medan punya peluang mengubah wajah Sungai Deli—dari sungai mati menjadi sungai berarti. Tapi untuk itu, harus ada keberanian politik dan strategi kolaboratif nyata.

Sumber:
Husni, N. (2017). Analisis Permasalahan Pengelolaan Sungai Deli di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Inovasi, 14(1), 77–82.