Ekonomi Daerah & Ketimpangan

Terungkap! Penyebab Ketimpangan Pendapatan Jawa Timur Lewat Model Data Spasial Canggih

Dipublikasikan oleh pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Ketimpangan Bukan Hanya Soal Angka

Ketimpangan pendapatan sering dibahas dalam laporan tahunan pemerintah, tapi apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Mengapa ada daerah yang selalu tertinggal meski pertumbuhan ekonomi nasional meningkat?

Studi yang dilakukan oleh Chusnul Chotimah dari ITS ini mengajak kita melihat lebih dalam ketimpangan di Jawa Timur dari sisi spasial dan temporal, memanfaatkan data panel dan metode inovatif Geographically Weighted Panel Regression (GWPR). Pendekatan ini memberikan gambaran dinamis dan spesifik lokasi atas perbedaan distribusi pendapatan di 38 kabupaten/kota Jawa Timur selama periode 2010–2014.

Latar Belakang: Ketimpangan yang Kian Meningkat

Jawa Timur adalah kontributor utama ekonomi nasional—menyumbang lebih dari 14% PDB Indonesia. Namun, di balik angka tersebut, terdapat ketimpangan antar wilayah yang mengkhawatirkan. Gini rasio provinsi ini naik dari 0,34 (2010) ke 0,37 (2014)—naik cukup signifikan meskipun masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 0,41 di tahun yang sama.

Ketimpangan ini bukan hanya memicu kecemburuan sosial, tetapi juga menghambat efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Beberapa wilayah seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik menunjukkan dominasi industri dan perdagangan, sementara wilayah-wilayah seperti Sampang atau Bondowoso tetap bergantung pada sektor pertanian tradisional yang kontribusinya terhadap PDRB rendah meski menyerap banyak tenaga kerja.

Metodologi: Gabungan Kekuatan Spasial dan Temporal

Apa itu GWPR?

Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) adalah penggabungan antara:

  • Geographically Weighted Regression (GWR) – yang mengakomodasi perbedaan antar wilayah.

  • Panel Regression – yang memanfaatkan data lintas waktu dan unit pengamatan.

Model ini memperhitungkan aspek geografis serta dinamika waktu, menjadikannya cocok untuk menganalisis fenomena kompleks seperti ketimpangan pendapatan.

Data & Variabel

Unit analisis: 38 kabupaten/kota di Jawa Timur
Periode waktu: 2010–2014
Variabel respon: Gini rasio
Variabel prediktor:

  • PDRB sektor pertanian

  • PDRB industri pengolahan

  • PDRB perdagangan & reparasi

  • PDRB informasi dan komunikasi

  • PDRB pembentukan modal tetap bruto (PMTB)

Hasil Utama: Apa yang Menyebabkan Ketimpangan?

1. Kontribusi Sektor Ekonomi Tidak Seimbang

  • PDRB pertanian tinggi di wilayah pedesaan, namun kontribusinya ke PDRB rendah.

  • PDRB industri dan perdagangan tinggi di wilayah perkotaan dan industrial.

Ini mengindikasikan konflik struktural dalam perekonomian: sektor padat karya tidak sejalan dengan sektor pencetak nilai tambah.

2. Model GWPR Lebih Akurat

Dibandingkan dengan model Fixed Effect biasa (FEM), model GWPR menghasilkan:

  • R² = 91,02%

  • MSE = 0,0004

🔍 Artinya: model ini mampu menjelaskan 91% variasi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur—sangat tinggi untuk data sosial ekonomi.

3. Setiap Daerah Unik

Model menunjukkan bahwa pengaruh variabel prediktor terhadap ketimpangan berbeda-beda di setiap kabupaten/kota. Misalnya:

  • Di Jombang, sektor informasi dan komunikasi lebih signifikan.

  • Di Probolinggo, sektor perdagangan menjadi penentu utama.

Studi Kasus: Ketimpangan Nyata di Lapangan

  • Kabupaten Bangkalan dan Sampang memiliki gini rasio tinggi meski bergantung pada sektor pertanian.

  • Kota Surabaya dan Kota Malang, dengan dominasi sektor tersier, justru menunjukkan gini rasio yang relatif rendah.

✍️ Catatan penting: Ketimpangan tidak selalu terjadi karena kemiskinan absolut, tapi karena distribusi pendapatan yang timpang antar golongan.

Kelebihan dan Kritik terhadap Studi

Kelebihan:

  • Menggabungkan aspek spasial dan temporal secara simultan.

  • Memanfaatkan model statistik tingkat lanjut yang masih jarang digunakan di Indonesia.

  • Menyediakan informasi detail berbasis lokasi untuk perumusan kebijakan.

Kritik:

  • Periode data terbatas hanya lima tahun (2010–2014).

  • Tidak mempertimbangkan variabel seperti pendidikan, infrastruktur, atau tingkat upah minimum kabupaten (UMK).

  • Validasi eksternal atau uji robust tidak dilakukan.

Relevansi Industri dan Kebijakan Publik

Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai:

  1. Dasar penentuan wilayah prioritas pembangunan – misalnya untuk distribusi dana transfer daerah.

  2. Input untuk perencanaan spasial – seperti pengembangan kawasan industri baru di daerah tertinggal.

  3. Alat evaluasi program pengentasan kemiskinan dan pemerataan – apakah benar menyasar daerah yang butuh?

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Beberapa studi sejenis menunjukkan hasil serupa:

  • Sylviarani (2017): menunjukkan bahwa PDRB dan pengangguran mempengaruhi ketimpangan di Pulau Jawa.

  • Jannah et al. (2017): menggunakan GWR untuk ketimpangan di Jawa Tengah, hasilnya menunjukkan variasi antar lokasi.

Namun, studi oleh Chotimah lebih unggul karena menggunakan pendekatan panel time-series, bukan hanya cross-section, dan menghasilkan pemodelan yang lebih stabil dan prediktif.

Kesimpulan: Saatnya Kebijakan Berbasis Data Spasial

Ketimpangan pendapatan di Jawa Timur bukan masalah tunggal yang bisa diselesaikan dengan kebijakan makroekonomi nasional. Ia memerlukan intervensi lokal spesifik yang berbasis data.

Model GWPR terbukti menjadi alat yang powerful untuk:

  • Mengidentifikasi penyebab ketimpangan berbasis lokasi.

  • Membantu perencanaan pembangunan yang lebih adil dan merata.

  • Mendorong integrasi data spasial dalam pengambilan kebijakan di tingkat daerah.

Sumber:

Chotimah, C. (2019). Pemodelan Ketimpangan Pendapatan di Jawa Timur Menggunakan Geographically Weighted Panel Regression. Tesis Magister Statistika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Akses lengkap: Perpustakaan ITS

Selengkapnya
Terungkap! Penyebab Ketimpangan Pendapatan Jawa Timur Lewat Model Data Spasial Canggih

Manajemen Risiko

Mengelola Risiko Konstruksi dalam Proyek Infrastruktur melalui Skema Pembiayaan Proyek

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Risiko konstruksi telah lama menjadi momok dalam pengadaan proyek infrastruktur, terutama dalam skema tradisional yang banyak digunakan oleh sektor publik. Artikel “Construction Risk in Infrastructure Project Finance” yang ditulis oleh Frederic Blanc-Brude dan Dejan Makovsek memberikan gambaran yang sangat tajam tentang bagaimana risiko ini dapat diminimalisasi secara signifikan melalui pendekatan pembiayaan proyek (project finance). Berangkat dari analisis empiris atas 75 proyek di seluruh dunia, penelitian ini membedah bagaimana kontrak berbasis risiko, penggunaan entitas khusus (Special Purpose Entities atau SPE), serta struktur insentif yang tepat dapat menjinakkan salah satu risiko terbesar dalam proyek infrastruktur: pembengkakan biaya konstruksi.

Kontras antara Skema Tradisional dan Project Finance

Penelitian ini dimulai dari realitas yang sering kali ditemui dalam pengadaan proyek publik secara tradisional, yaitu terjadinya pembengkakan biaya secara sistemik. Studi Flyvbjerg et al. yang dijadikan rujukan mendokumentasikan bahwa dari 110 proyek infrastruktur yang diamati antara tahun 1950 hingga 2000, rata-rata mengalami pembengkakan biaya sebesar 26,7%. Skema tradisional tidak hanya rentan terhadap kesalahan estimasi biaya, tetapi juga terbuka terhadap moral hazard, karena kontraktor tidak menanggung risiko atas lonjakan biaya.

Sebaliknya, pendekatan project finance mengadopsi struktur kontrak tetap (fixed-price) dan batas waktu pasti (date-certain), dengan risiko konstruksi dialihkan kepada kontraktor utama yang biasanya juga menjadi pemegang saham dalam SPE. Dengan demikian, insentif untuk menyelesaikan proyek sesuai anggaran dan waktu menjadi lebih kuat karena risiko finansial atas pembengkakan biaya ditanggung oleh pelaksana konstruksi, bukan oleh pemerintah.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Data yang digunakan dalam artikel ini berasal dari database internal bank komersial besar (NATIXIS) yang menangani pembiayaan proyek infrastruktur global. Dari 75 proyek yang diamati (meliputi sektor transportasi, energi, akomodasi sosial, lingkungan, dan telekomunikasi), distribusi risiko konstruksi (∆C) menunjukkan bahwa secara median, risiko pembengkakan biaya adalah nol. Ini berarti, dalam mayoritas kasus, biaya konstruksi aktual berada dalam rentang ekspektasi awal yang telah ditentukan saat penutupan finansial.

Satu proyek bahkan mencatat cost underrun (pengeluaran lebih rendah dari anggaran) sebesar 50%, mengindikasikan kemungkinan adanya pengurangan lingkup proyek setelah penutupan finansial. Jika dikeluarkan dari analisis, temuan menunjukkan bahwa lebih dari 75% proyek tidak mengalami cost overrun yang signifikan.

Sebaliknya, proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan metode tradisional memperlihatkan tingkat deviasi biaya yang jauh lebih tinggi dan memiliki distribusi data yang sangat miring ke kanan, menunjukkan bahwa meskipun sebagian proyek berjalan sesuai anggaran, sebagian lainnya mengalami pembengkakan biaya yang sangat besar hingga mencapai 200%.

Peran Insentif dan Kontrak EPC

Salah satu kontribusi signifikan dari artikel ini adalah pembahasan tentang efektivitas paket insentif dalam kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction). Paket ini biasanya mencakup jaminan penyelesaian, penalti atas keterlambatan, serta tanggung jawab finansial atas kerusakan atau keterlambatan yang ditanggung oleh kontraktor.

Namun, hasil regresi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara keberadaan insentif tersebut dengan pengurangan risiko konstruksi tidak signifikan secara statistik. Bahkan, keberadaan penalti atau jaminan tambahan tidak berkorelasi kuat dengan berkurangnya risiko pembengkakan biaya. Hal ini bisa dimaknai bahwa struktur risiko yang telah dibangun dalam skema project finance—di mana kontraktor juga menjadi pemegang saham—telah cukup efektif menciptakan self-enforcing mechanism yang mendorong efisiensi tanpa perlu tambahan insentif formal.

Dimensi Risiko: Endogen vs Eksogen

Salah satu kerangka analisis paling menarik dalam artikel ini adalah pembedaan antara risiko konstruksi eksogen (misalnya cuaca buruk, kondisi tanah tak terduga) dan risiko endogen yang muncul dari desain kontrak atau struktur insentif. Dalam skema tradisional, risiko endogen ini sangat tinggi karena kontraktor tidak memiliki insentif untuk mengendalikan biaya. Sebaliknya, dalam skema project finance, risiko ini dapat ditekan karena pihak kontraktor tidak hanya bertanggung jawab, tetapi juga berkepentingan langsung terhadap keberhasilan proyek secara finansial.

Artikel ini menegaskan bahwa sebagian besar risiko konstruksi bersifat idiosinkratik (terisolasi pada proyek tertentu) dan karenanya dapat didiversifikasi oleh perusahaan konstruksi besar yang menangani banyak proyek di berbagai sektor dan wilayah.

Analisis Berdasarkan Sektor dan Wilayah

Dalam upaya mengidentifikasi apakah terdapat sektor atau wilayah yang memiliki risiko konstruksi lebih tinggi, artikel ini melakukan regresi linier terhadap dummy variabel sektoral dan regional. Hasilnya menunjukkan bahwa proyek energi di Timur Tengah merupakan satu-satunya kategori dengan pengaruh signifikan terhadap kenaikan risiko konstruksi. Di luar itu, baik dari sisi sektor maupun wilayah, tidak ada korelasi yang cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa sektor tertentu lebih rentan terhadap pembengkakan biaya dalam skema project finance.

Ini memperkuat argumen bahwa skema ini cukup robust dalam mengelola risiko lintas sektor dan geografi. Bahkan proyek jalan raya dalam database NATIXIS menunjukkan rata-rata pembengkakan biaya hanya sebesar 3,21%, jauh lebih rendah dibandingkan angka 5,6–9,3% dalam proyek jalan yang dikerjakan melalui skema tradisional seperti yang ditunjukkan oleh penelitian terdahulu.

Implikasi Praktis dan Kebijakan

Resensi ini menyoroti satu kesimpulan penting dari artikel: skema project finance memiliki efektivitas yang nyata dalam mengelola risiko konstruksi, bahkan dengan variasi sektor dan geografi yang cukup luas. Pembelajaran praktis dari sini adalah perlunya pemerintah dan sektor publik mempertimbangkan secara serius penggunaan project finance, terutama dalam proyek infrastruktur skala besar dan kompleks. Insentif finansial dan struktur kepemilikan yang tertanam dalam SPE memberikan keunggulan tersendiri dibandingkan pendekatan tradisional yang mengandalkan pengadaan kontraktual konvensional.

Kritik yang relevan terhadap pendekatan ini terletak pada keterbatasan skala. Tidak semua proyek infrastruktur cocok untuk project finance karena keterbatasan kapasitas pengelolaan, biaya transaksi, serta ketersediaan investor swasta. Namun, untuk proyek yang strategis dan berdampak besar secara ekonomi, pendekatan ini terbukti lebih efisien dalam mengontrol anggaran dan menghindari pembengkakan biaya.

Kesimpulan

Makalah ini menyajikan kontribusi empiris yang sangat penting terhadap literatur pengelolaan risiko dalam proyek infrastruktur. Dengan data yang solid, metode statistik yang kuat, dan pembahasan mendalam, penelitian ini menunjukkan bahwa project finance bukan hanya strategi pendanaan, tetapi juga alat manajemen risiko yang sangat efektif. Ketika diterapkan secara tepat, pendekatan ini dapat mengubah lanskap risiko konstruksi menjadi sesuatu yang dapat diprediksi dan dikelola, alih-alih menjadi sumber ketidakpastian dan pemborosan.

Skema pembiayaan proyek, dengan struktur insentif yang kuat dan penempatan tanggung jawab yang tepat, mampu menciptakan kondisi di mana pembengkakan biaya bukanlah keniscayaan. Justru efisiensi dan pengendalian biaya menjadi norma baru dalam pengadaan infrastruktur.

Sumber Artikel Asli:
Blanc-Brude, F., & Makovsek, D. (2013). Construction Risk in Infrastructure Project Finance. EDHEC-Risk Institute.

Selengkapnya
Mengelola Risiko Konstruksi dalam Proyek Infrastruktur melalui Skema Pembiayaan Proyek

Konstruksi Berkelanjutan

Menembus Hambatan Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia: Kajian Mendalam terhadap Faktor Penghambat

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Krisis Lingkungan dan Desakan akan Konstruksi Berkelanjutan

 

Industri konstruksi global menyumbang sekitar 38% emisi gas rumah kaca dan mengonsumsi lebih dari 30% sumber daya alam dunia. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, menghadapi tekanan untuk mengadopsi praktik konstruksi berkelanjutan. Namun, realitas menunjukkan bahwa adopsi konsep ini masih minim. Studi oleh Fitriani dan Ajayi (2022) mengangkat permasalahan ini secara sistematis dan empiris, menggali hambatan-hambatan utama yang menghambat praktik keberlanjutan di industri konstruksi Indonesia.

 

Metodologi: Analisis Statistik Berbasis Kuesioner

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebar kuesioner ke 1.000 profesional konstruksi, menghasilkan 487 respons valid. Data dianalisis dengan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengidentifikasi faktor-faktor laten yang menghambat implementasi keberlanjutan.

 

Hasil: Delapan Faktor Penghambat Utama

 

Dari analisis statistik, ditemukan delapan kelompok hambatan utama:

 

1. Kurangnya Pengetahuan dan Standar: Variabel ini menyumbang 17,5% dari total variasi. Kekosongan informasi dan ketidaktersediaan panduan teknis menjadi hambatan terbesar.

2. Desain yang Buruk: Kurangnya tim desain yang kompeten dan rendahnya pemahaman terhadap dampak lingkungan dari desain bangunan.

3. Keterbatasan Finansial: Ketakutan terhadap biaya awal yang tinggi dan kurangnya insentif dari lembaga keuangan.

4. Kelemahan dalam Manajemen Proyek: Struktur organisasi yang lemah dan kurangnya kompetensi manajerial.

5. Kepemimpinan Proyek yang Minim: Tidak adanya tokoh penggerak dalam organisasi untuk mendorong agenda keberlanjutan.

6. Minimnya Kemauan Politik: Dukungan regulasi dan kebijakan dari pemerintah masih sangat terbatas.

7. Kendala Ekonomi: Persepsi bahwa bangunan berkelanjutan lebih mahal tanpa pertimbangan jangka panjang.

8. Tantangan Dokumentasi: Prosedur dokumentasi dan perencanaan pra-kontrak yang dianggap membebani.

 

Studi Kasus dan Data Pendukung

 

Sebagai contoh, 90% bangunan eksisting di Jakarta belum memenuhi regulasi bangunan hijau karena dibangun sebelum penerapan standar hijau (GBCI, 2019). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya integrasi regulasi sejak tahap awal proyek.

 

Analisis Tambahan: Dibandingkan Negara Lain

 

Jika dibandingkan dengan Nigeria, Vietnam, dan Malaysia, hambatan yang dihadapi Indonesia sangat mirip, terutama dalam aspek kurangnya pelatihan dan biaya investasi tinggi. Namun, Indonesia memiliki karakter unik dalam hal lemahnya kemauan politik dan rendahnya sinergi antar pemangku kepentingan.

 

Rekomendasi Strategis

 

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, studi ini merekomendasikan:

 

1. Peningkatan Literasi Keberlanjutan

 

  • Integrasi kurikulum keberlanjutan di universitas teknik.
  • Pelatihan berkelanjutan bagi profesional melalui sertifikasi GBCI dan pelatihan BIM.

 

2. Reformasi Desain dan Perencanaan Proyek

 

  • Adopsi desain ramah lingkungan sejak tahap awal (mengikuti prinsip MacLeamy Curve).
  • Pemanfaatan teknologi BIM untuk efisiensi dokumentasi.

 

3. Insentif Finansial dan Subsidi Hijau

 

  • Pemerintah memberikan keringanan pajak atau pinjaman berbunga rendah untuk proyek hijau.
  • Pengenalan carbon pricing dan insentif performa bangunan.

 

4. Penguatan Regulasi dan Komitmen Politik

 

  • Penerapan nasional standar GREENSHIP dari GBCI.
  • Revisi Peraturan Menteri PUPR agar mengakomodasi keberlanjutan sebagai kriteria wajib tender.

 

5. Peran Aktif Pemimpin Proyek dan Kolaborasi Multi-Stakeholder

 

  • Penunjukan sustainability champion dalam setiap proyek.
  • Keterlibatan sektor swasta, akademisi, dan LSM dalam perumusan kebijakan.

 

Dampak Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang?

 

  • Kontraktor dapat mulai dari menerapkan ISO 14001 atau LEED.
  • Arsitek dapat mengadopsi prinsip desain pasif dan material daur ulang.
  • Pemerintah daerah dapat memulai dari proyek pilot untuk green building di fasilitas umum.

 

Kesimpulan: Dari Hambatan ke Peluang

 

Studi ini bukan hanya memetakan masalah, tetapi juga membuka peluang transformasi. Jika pemerintah, industri, dan akademisi bisa bersinergi, maka konstruksi berkelanjutan di Indonesia bukan sekadar idealisme, melainkan keniscayaan.

 

Penelitian ini dapat diakses di Journal of Environmental Planning and Management melalui DOI berikut: https://doi.org/10.1080/09640568.2022.2057281

Selengkapnya
Menembus Hambatan Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia: Kajian Mendalam terhadap Faktor Penghambat

Administrasi Publik

Mengurai Sukses dan Gagalnya Koordinasi Pemerintah Indonesia: Studi Kasus Kementerian Keuangan dalam Reformasi Birokrasi

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Dalam konteks administrasi publik, koordinasi menjadi pondasi penting bagi terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif. Namun, meskipun telah menjadi topik klasik, isu koordinasi justru semakin krusial di tengah kompleksitas kebijakan lintas sektor dan desentralisasi birokrasi. Disertasi doktoral Taufik Damhuri dari University of Canberra, berjudul "Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia" (2021), menelaah secara mendalam praktik koordinasi di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Fokus utamanya: mengapa upaya koordinasi sering gagal dan bagaimana meningkatkan keberhasilannya.

 

Latar Belakang

 

Pasca krisis ekonomi 1997 dan kejatuhan rezim Orde Baru, Indonesia mengadopsi reformasi birokrasi bergaya New Public Management (NPM). Model ini menekankan spesialisasi lembaga, pemisahan fungsi kebijakan dan pelaksanaan, serta dorongan pada kinerja dan akuntabilitas. Meskipun menghasilkan kemajuan signifikan, seperti penurunan korupsi dan peningkatan layanan publik, reformasi ini juga melahirkan tantangan koordinasi yang kompleks akibat meningkatnya sekat-sekat (silo) kelembagaan.

 

Tujuan dan Metode Penelitian

 

Damhuri mengkaji tujuh praktik koordinasi di Kemenkeu yang mencerminkan lima jenis koordinasi berdasarkan kompleksitas:

 

  • Berbagi informasi
  • Berbagi aktivitas/sumber daya
  • Berbagi tanggung jawab
  • Sistem informasi terintegrasi
  • Struktur organisasi terintegrasi

 

 

Melalui pendekatan kualitatif interpretatif, studi ini menggunakan data primer dari 40 wawancara semi-terstruktur dan data sekunder berupa dokumen internal kementerian. Analisis dilakukan secara longitudinal dan tematik berdasarkan kerangka teoritik dari literatur koordinasi, seperti model Ansell & Gash (2008), Emerson et al. (2011), dan Bryson et al. (2006).

 

Hasil Temuan Utama

 

1. Koordinasi Sukses vs Gagal: Hubungan dengan Kompleksitas

 

Studi ini menemukan hubungan berbentuk kurva lonceng antara kompleksitas koordinasi dan tingkat keberhasilan. Praktik dengan tingkat kompleksitas menengah (misalnya berbagi tanggung jawab) justru lebih sering berhasil dibandingkan koordinasi yang terlalu sederhana atau terlalu kompleks (misalnya integrasi struktural).

 

2. Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Koordinasi

 

  • Faktor manusia: kepemimpinan politik dan teknis sangat dominan.
  • Desain kelembagaan: struktur formal menentukan legitimasi dan akuntabilitas.
  • Regulasi bertentangan: konflik aturan kerap menghambat koordinasi.
  • Proses bisnis yang buruk: duplikasi dan inefisiensi memperparah masalah.

 

3. Studi Kasus Menarik

 

  • SPAN dan SAKTI (Sistem Perbendaharaan): meskipun sangat kompleks, sistem ini berhasil karena adanya dukungan politik dan manajemen perubahan yang kuat.
  • Integrasi Unit Perbendaharaan: justru gagal karena resistensi tinggi dari aktor terkait dan minimnya legitimasi struktural.
  • Pengelolaan Aset dan Utang: sukses berkat kolaborasi aktor lintas direktorat dan adanya insentif kinerja yang jelas.

 

4. Budaya Silo dan Ketergantungan Aktor

 

Kemenkeu yang terdiri atas banyak direktorat jenderal (eselon I) menunjukkan budaya "silo" yang kuat. Setiap unit bekerja dengan otonomi tinggi, yang menyebabkan kolaborasi menjadi tantangan. Teori ketergantungan kekuasaan (power-dependence theory) relevan menjelaskan relasi asimetris ini, di mana unit yang kuat cenderung enggan berkoordinasi kecuali mendapat insentif atau tekanan politik.

 

Analisis dan Opini

 

Kelebihan Penelitian

 

  • Studi ini memberikan kerangka komprehensif untuk memahami praktik koordinasi dalam sistem birokrasi kompleks.
  • Penggunaan kombinasi teori organisasi dan perilaku sosial memperkaya perspektif.
  • Data empiris dari dalam institusi memungkinkan validasi yang kuat.

 

Kritik dan Keterbatasan

 

  • Fokus hanya pada Kemenkeu, padahal koordinasi paling kritis sering terjadi antarkementerian.
  • Pendekatan kualitatif membuat generalisasi hasil menjadi terbatas.
  • Tidak semua studi kasus berhasil mengungkap dimensi informal (seperti patronase atau politik internal).

 

Perbandingan Internasional

 

Dalam konteks global, praktik koordinasi di negara OECD lebih didukung oleh kapasitas teknis, sistem merit, dan stabilitas politik. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam bentuk rendahnya trust antar-aktor, ketergantungan pada figur pemimpin, serta lemahnya sistem pengawasan.

 

Implikasi Praktis

 

  • Perancang kebijakan harus memetakan kompleksitas dan kesiapan organisasi sebelum merancang bentuk koordinasi.
  • Pemimpin proyek perlu memiliki legitimasi dan keterampilan komunikasi lintas unit.
  • Reformasi SDM harus menekankan fleksibilitas rotasi jabatan dan sistem insentif berbasis kinerja kolaboratif.
  • Penguatan sistem informasi harus dilakukan paralel dengan restrukturisasi proses bisnis.

 

Rekomendasi Strategis

 

1. Bangun budaya kolaborasi: melalui pelatihan lintas unit dan kampanye internal.

2. Revitalisasi unit koordinasi: beri mereka otoritas dan sumber daya memadai.

3. Adopsi model koordinasi bertingkat: kombinasi pendekatan hirarkis dan negosiasi horizontal.

4. Gunakan teknologi sebagai enabler: sistem data terpadu antar direktorat.

5. Cegah ketimpangan kekuasaan antar unit: dengan mengembangkan sistem audit independen dan mekanisme umpan balik dua arah.

6. Fasilitasi forum lintas direktorat: untuk diskusi informal yang dapat memperkuat jejaring kerja.

 

Kesimpulan

 

Koordinasi bukan hanya soal struktur, tetapi tentang manusia, insentif, dan legitimasi. Disertasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan koordinasi dalam birokrasi Indonesia bergantung pada keseimbangan antara kompleksitas, fleksibilitas, dan dukungan politik. Untuk menciptakan pemerintahan yang lebih terkoordinasi, diperlukan kombinasi antara desain kelembagaan yang tepat dan pengelolaan aktor yang cermat.

 

Sumber:

 

Damhuri, Taufik. (2021). Factors That Influence Success or Failure of Coordination Practices in the Central Government of Indonesia [Doctoral dissertation, University of Canberra]. https://doi.org/10.26191/f1ch-hb45

Selengkapnya
Mengurai Sukses dan Gagalnya Koordinasi Pemerintah Indonesia: Studi Kasus Kementerian Keuangan dalam Reformasi Birokrasi

Manajemen Konstruksi

Menguak Pola Korupsi Proyek Konstruksi di Indonesia: Sebuah Analisis Mendalam

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan: Korupsi dan Pembangunan, Dua Kutub yang Saling Bertentangan

 

Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur untuk memperkuat fondasi ekonominya. Namun, proses pembangunan seringkali diwarnai dengan praktik korupsi, terutama dalam proyek-proyek konstruksi yang melibatkan anggaran besar dan banyak pihak. Studi dari Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto (2017) mencoba membedah anatomi korupsi dalam proyek konstruksi di Indonesia, mengungkap karakteristik, pola, serta dampaknya dengan pendekatan grounded theory.

 

Karakteristik Umum Proyek Konstruksi yang Terkorupsi

 

Berdasarkan analisis terhadap 15 putusan Mahkamah Agung terkait korupsi di sektor konstruksi, ditemukan pola menarik:

 

  • Mayoritas proyek merupakan proyek milik pemerintah, namun dieksekusi oleh kontraktor swasta.
  • Proyek yang terlibat korupsi dominan berupa pembangunan infrastruktur.
  • Lokasi proyek paling sering berada di Jawa dan Sumatera, dengan nilai kontrak rata-rata sebesar USD 195.000.
  • Sistem tender yang umum digunakan adalah lelang, namun transparansi pelaksanaannya dipertanyakan.

 

Titik Rawan Korupsi: Fase Pelaksanaan Proyek

 

Dari studi ini terungkap bahwa fase pelaksanaan konstruksi adalah momen paling rentan terhadap praktik korupsi. Bentuk korupsi paling umum adalah ketidaksesuaian volume pekerjaan dengan laporan progres, yang berdampak pada pembayaran yang tidak sesuai. Ini diperparah dengan adanya berita acara fiktif dan laporan rekayasa.

 

Pihak paling sering terlibat adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), karena mereka memiliki wewenang atas verifikasi pekerjaan fisik dan persetujuan pembayaran.

 

Menariknya, intervensi masyarakat juga ditemukan sebagai faktor eksternal yang signifikan, terutama pada proyek-proyek di daerah terpencil seperti Nusa Tenggara dan Papua. Di wilayah ini, pengaruh budaya lokal dan lemahnya infrastruktur memperbesar risiko manipulasi.

 

Dampak Teknis dan Hukum Korupsi Proyek

 

Korupsi pada proyek konstruksi tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga gagalnya fungsi bangunan:

 

  • Dari 15 kasus, empat proyek mengalami kegagalan konstruksi, seperti jalan rusak dan bangunan roboh.
  • Satu proyek gagal memenuhi masa umur desain.

 

Dari sisi hukum, vonis rata-rata untuk pelaku korupsi adalah 44,8 bulan penjara dan denda USD 10.716. Nilai ini tidak sebanding dengan kerugian proyek yang mencapai 16,7% hingga 33,4% dari nilai kontrak. Bahkan, di beberapa wilayah, seperti Papua, kerugian bisa mencapai 80% dari total anggaran.

 

Pola Korupsi: Sebuah Rantai Sistemik

 

Penelitian ini menyusun urutan tindakan korupsi sebagai berikut:

 

1. Penetapan volume kerja fiktif atau melebihi kenyataan.

2. Manipulasi laporan progres untuk menyesuaikan dengan pembayaran.

3. Pengesahan pembayaran oleh PPK berdasarkan dokumen palsu.

4. Pembiaran dari pengawas atau konsultan yang berperan pasif.

 

Pola ini menunjukkan bahwa korupsi bukanlah tindakan individu semata, tetapi merupakan konspirasi sistemik yang melibatkan banyak aktor.

 

Perspektif Kritis dan Komparatif

 

Jika dibandingkan dengan studi oleh Le et al. (2014) di Tiongkok, Indonesia menunjukkan pola yang mirip, terutama pada:

 

  • Manipulasi dokumen kontrak
  • Substitusi material tidak layak
  • Evaluasi tender yang tidak sesuai aturan

 

Namun, studi di Indonesia menambahkan satu faktor penting: intervensi eksternal, seperti tekanan budaya lokal dan kondisi geografis yang menyulitkan pengawasan.

 

Solusi dan Rekomendasi Praktis

 

Berdasarkan temuan ini, berikut rekomendasi untuk berbagai pemangku kepentingan:

 

Untuk Pemerintah:

 

  • Terapkan sistem e-procurement berbasis blockchain.
  • Perkuat fungsi pengawasan melalui inspektorat independen.
  • Naikkan hukuman denda agar sebanding dengan nilai kerugian.

 

Untuk Kontraktor:

 

  • Tingkatkan transparansi pelaporan proyek.
  • Terapkan audit internal berkelanjutan.
  • Bangun budaya integritas dalam organisasi.

 

Untuk Akademisi:

 

  • Lakukan riset lanjutan berbasis lokasi proyek.
  • Teliti pengaruh intervensi sosial terhadap keputusan teknis proyek.

 

Penutup: Integritas adalah Fondasi Pembangunan

 

Korupsi dalam proyek konstruksi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pembangunan. Studi oleh Hidayat dan Mulyanto menunjukkan bahwa membenahi sektor konstruksi tidak cukup hanya dengan penguatan teknis, tetapi juga penanaman nilai integritas di seluruh lapisan pelaku.

 

Penelitian ini dapat diakses di MATEC Web of Conferences, SICEST 2016 melalui tautan resmi: https://doi.org/10.1051/matecconf/201710105018

Selengkapnya
Menguak Pola Korupsi Proyek Konstruksi di Indonesia: Sebuah Analisis Mendalam

Kecelakaan Proyek Kontruksi

Mengungkap Akar Kecelakaan Fatal di Proyek Konstruksi Indonesia: Studi Kasus dan Solusi Praktis dari Putusan Pengadilan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Industri konstruksi di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat seiring kebutuhan akan infrastruktur nasional. Namun, pertumbuhan ini diiringi oleh tingginya angka kecelakaan kerja fatal. Paper berjudul "Analysis of Fatal Construction Accidents in Indonesia—A Case Study" karya Theresia Avila Bria dkk., yang dipublikasikan di jurnal Buildings (2024), menawarkan pendekatan baru melalui analisis terhadap 150 putusan pengadilan untuk mengidentifikasi pola dan faktor utama penyebab kecelakaan. Metode ini unik karena mengandalkan data legal yang memiliki nilai hukum tetap dan memberikan sudut pandang objektif terhadap karakteristik kecelakaan.

 

Latar Belakang Masalah

 

Indonesia menyumbang 4,2% dari kecelakaan konstruksi global, padahal hanya memiliki sekitar 3,5% populasi dunia. Tahun 2022, BPJS mencatat 265.334 kasus kecelakaan kerja, naik 13,26% dari tahun sebelumnya. Tingginya angka ini menunjukkan perlunya sistem mitigasi yang efektif dan berbasis data kuat.

 

Metodologi Unik: Analisis Putusan Pengadilan

 

Penelitian ini mengkaji 150 putusan pengadilan dari Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Indonesia, mencakup rentang waktu 2010–2022. Data diolah melalui pendekatan skenario (scenario analysis) dan statistik deskriptif untuk mengidentifikasi tujuh kategori risiko: status pekerja, usia, tipe proyek, tipe tugas, media kecelakaan, tipe kecelakaan, dan lokasi cedera.

 

Keunggulan pendekatan ini adalah kemampuannya menyajikan data konkret yang telah melalui proses hukum, sehingga lebih valid daripada laporan kecelakaan subjektif.

 

Hasil Temuan Utama

 

1. Tipe Proyek dan Media Penyebab

 

  • 52% kecelakaan terjadi di proyek jalan tol.
  • Media utama penyebab adalah alat berat konstruksi (36%), terutama kendaraan proyek.

 

2. Tipe Tugas dan Jenis Kecelakaan

 

  • Tugas mengangkat dan memindahkan barang memiliki nilai phi 0,534 dan Cramer’s V 0,001, menunjukkan korelasi kuat.
  • Jenis kecelakaan terbanyak: tertabrak alat berat dan tertimpa material.

 

3. Waktu dan Lokasi

 

  • Kecelakaan paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Riau.
  • Terbanyak pada bulan Oktober–Desember dan hari Senin.
  • Jam kerja pagi (09.00–12.00) paling rawan kecelakaan.

 

4. Profil Korban

 

  • 96% korban berusia >18 tahun.
  • 88,66% adalah pekerja lapangan, sisanya mandor atau pihak luar.

 

Studi Kasus Pendukung

 

Contoh kasus dari putusan Mahkamah Agung: Seorang pekerja meninggal akibat tertabrak dump truck karena pengemudi lalai dan tidak memakai rem tangan. Putusan menyatakan kontraktor bersalah karena tidak memberi pelatihan dan SOP pengoperasian alat berat.

 

Analisis Tambahan dan Opini

 

Penelitian ini membuka wawasan baru bahwa putusan hukum dapat menjadi sumber data keselamatan kerja yang kredibel. Tidak hanya itu, data CACD juga bisa digunakan sebagai alat audit keselamatan proyek. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan sebenarnya bisa dicegah melalui implementasi SOP, pelatihan rutin, dan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri).

 

Studi ini juga mengkritisi lemahnya pengawasan proyek jalan raya, terutama di tahap pemindahan material dan manuver alat berat. Dibandingkan dengan penelitian Li et al. (2022) di Hong Kong yang menggunakan 3.000 putusan untuk menganalisis kompensasi kecelakaan, pendekatan di Indonesia masih terbatas namun menjanjikan.

 

Rekomendasi Praktis

 

  • Perusahaan: Wajib menyusun dan melatih SOP terkait alat berat dan pengangkatan barang.
  • Pemerintah: Gunakan data CACD sebagai rujukan nasional untuk kebijakan keselamatan kerja.
  • Regulator: Wajibkan audit rutin berbasis putusan pengadilan di proyek berisiko tinggi.
  • Akademisi: Perluasan riset dengan pendekatan hukum untuk studi keselamatan kerja.

 

Kesimpulan

 

Analisis terhadap CACD memberikan dimensi baru dalam memahami penyebab kecelakaan kerja fatal di sektor konstruksi Indonesia. Fokus utama perbaikan harus diarahkan pada proyek jalan tol, alat berat, serta manajemen tugas pengangkatan. Dengan mengadopsi pendekatan berbasis putusan hukum, strategi keselamatan kerja bisa lebih akurat dan berbasis bukti.

 

Sumber:

 

Bria, T.A.; Chen, W.T.; Muhammad, M.; Rantelembang, M.B. (2024). Analysis of Fatal Construction Accidents in Indonesia—A Case Study. Buildings, 14(1010). https://doi.org/10.3390/buildings14041010

Selengkapnya
Mengungkap Akar Kecelakaan Fatal di Proyek Konstruksi Indonesia: Studi Kasus dan Solusi Praktis dari Putusan Pengadilan
« First Previous page 369 of 1.350 Next Last »