Urgensi Menjaga Ketersediaan Air Bersih dan Aman di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

23 April 2024, 10.07

Sumber: www.itb.ac.id

Saat ini, topik menjaga ketersediaan air bersih dan aman di Indonesia semakin mengemuka di tengah perubahan iklim global. Kelompok Keahlian Teknik Penyehatan dan Air Limbah, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan menyelenggarakan webinar bertajuk "Urgensi Menjaga Ketersediaan Air Bersih dan Aman di Indonesia". Prof. Suprihanto PhD dan Ir. Yuniati, PhD, diundang sebagai pembicara kunci serta Rofiq, PhD sebagai moderator.

Pada sesi pertama, Prof. Suprihanto memaparkan kondisi dan tantangan air bersih dan aman di Indonesia. Beliau mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari WHO, 19% populasi dunia memiliki sumber air yang tidak aman. Selain itu, 829.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat diare karena air yang tidak aman dan sanitasi yang buruk. Berdasarkan data dari Bappenas tahun 2018, aksesibilitas air minum aman di Indonesia adalah 87,75%.

"Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pasokan air minum dan daya saing bangsa. Kurangnya sumber air minum menyebabkan daya saing yang rendah. Banyak orang menghabiskan uangnya untuk berobat dan membeli air. Masyarakat yang sakit memiliki produktivitas yang rendah," ujarnya pada Kamis, 30 Juli 2020.

Di Indonesia, produsen utama air bersih adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan kapasitas produksi saat ini sebesar 153.881 L/detik. Jumlah tersebut mencakup sekitar 19-20% dari kebutuhan dasar masyarakat Indonesia dengan efisiensi produksi sebesar 72,97% dan kebocoran sebesar 32,57%.

Sumber: www.itb.ac.id

Potensi sumber daya air di Indonesia masih relatif melimpah. Di Pulau Jawa sendiri, jika pemerintah memaksimalkan penggunaan sumber daya air alternatif secara memadai, bahkan dapat memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Namun, pemenuhan air irigasi cukup menantang karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Prof. Suprihanto menjelaskan bahwa Indonesia juga menghadapi masalah kualitas air permukaan, "Sekitar 52% dari sungai-sungai kita tercemar berat. Hal ini memberikan tantangan kepada kita untuk menyediakan teknologi pengolahan air yang canggih. Oleh karena itu, air tanah sebagai sumber air baku tentunya diperlukan dengan tetap menjaga kelestarian air tanah itu sendiri. Hal ini dikarenakan air tanah merupakan reservoir alami dan relatif bebas dibandingkan dengan reservoir buatan," jelasnya.

Pada sesi kedua, Yuniati menjelaskan bagaimana meningkatkan akses air minum yang aman dan layak di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menjadikan pengelolaan air tanah, air baku yang berkelanjutan dan penyediaan akses air minum, serta sanitasi yang layak dan aman menjadi prioritas nasional. Pemerintah menetapkan target untuk menyediakan sekitar 100% air minum yang aman, 15% air minum yang layak, dan 30% air minum perpipaan.

"Untuk mencapai target tersebut pada tahun 2024, pemerintah melaksanakan program penyaluran air bersih ke 10 juta rumah. Selain itu, pemerintah akan mengeluarkan dana sebesar Rp 77,9 triliun dari total kebutuhan Rp 123,5 triliun dari APBN. Sayangnya, dengan kondisi darurat pandemi COVID-19 saat ini, terjadi pengurangan dana APBN hingga Rp35 triliun. Cara lain untuk memenuhi kesenjangan pendanaan tersebut adalah dengan mengoptimalkan dana APBD, termasuk dana desa," katanya.

Kondisi pandemi COVID-19 juga berdampak pada peningkatan penggunaan air rumah tangga. Yuniati mengatakan bahwa terjadi peningkatan penggunaan air di Bandung dan Cimahi dari bulan April hingga Juni. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata penggunaan air domestik sebesar 163 L/orang/hari, lebih tinggi dari standar Indonesia (120 L/orang/hari). Peningkatan penggunaan air ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas di rumah.

Sumber: www.itb.ac.id

Saat ini, sekitar 46% masyarakat Indonesia menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih. Namun, ada sebuah survei yang memeriksa kandungan Fe, Mn, COD, TDS dan E-Coli di 10 lokasi di Jakarta. Hasilnya ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin gelap warnanya, semakin tinggi potensi pencemarannya. "Perlu adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri untuk mengembangkan teknologi penyediaan air minum skala komunal," ujarnya.

Selain teknologi, perubahan perilaku masyarakat juga sangat penting. "Kita harus mengedukasi generasi muda kita, seperti siswa TK dan SD untuk sadar dan menghemat air," jelas Yuniati.

Disadur dari: www.itb.ac.id