1. Pertanyaan dari Ibu Fitri Yani
Perihal validasi asumsi, untuk memvalidasinya seperti apa ya Pak? Apakah ada standar untuk presentasi asumsi di dalam kuantitatif atau dilihat dari history log? Tapi jika belum punya history log, bagaimana ya Pak?
Jawaban: Yang namanya sebuah asumsi valid atau tidak itu hanya bisa terjawab ketika sudah terjadi masalahnya. Yang namanya asumsi itu bisa salah bisa benar ketika masalah sudah terjadi misalnya, saya berasumsi vendor material yang ini biasanya akan memberi diskon kalau kita membeli ke dia. Namun ketika kita datang ke vendor tersebut, "Boleh dong diskon seperti kemarin", "Maaf tidak bisa, lagi seret kondisi keuangannya", berarti asumsi itu salah. Jadi yang namanya asumsi adalah yang penting ketika kita membuat validasi, ketika berusaha untuk memvalidasi sebuah asumsi itu yang namanya asumsi itu tetap harus ada dasar-dasarnya dulu. Misalnya harga beton K300 di tahun 2004 Rp600.000 1 M3, lalu kita merencanakan untuk di tahun 2020 sebesar sekian. Kita ingin tahu berapa harganya sekarang, asumsinya bisa kita bertanya ke vendornya atau jika tidak sempat melakukan itu menggunakan data inflasi, lihat inflasi 10 tahun kebelakang kita lihat berapa peningkatan kenaikan harganya, tiap tahunnya berapa persen, data inflasi pun didapatkan dari data-data yang valid misalnya dari Bank Indonesia, atau World Bank, atau lembaga survei yang terakreditasi valid, itu bisa dipakai. Jadi kalau kita bicara validasi asumsi yang lebih tepat adalah bagaimana kita membuat metode yang valid untuk menghasilkan sebuah asumsi. Apakah our research, apakah penelitian kita untuk menghasilkan sebuah asumsi itu benar atau tidak, itu yang menjadi pertanyaan sesungguhnya. Ini masih menjadi masalah, tim proyek itu masih banyak yang belum memiliki semacam knowledge database, tetapi ini bisa diatasi sebenarnya kalau punya anggota tim proyek, mau itu PMnya atau dewan direksinya yang memiliki pengalaman. Mungkin lognya tidak punya, cuma kita bisa ajak diskusi, Jadi kalau belum memiliki data yang bagus untuk kuantitatif, ya sudah tidak apa-apa jalankan secara kualitatif, yang penting analisis kualitatifnya dilakukan dengan benar sehingga nanti responnya pun juga appropriate dan efektif. Kalau belum memiliki history log lakukanlah kualitatif, dan mulailah membuat history log saat itu juga untuk proyek-proyek yang akan datang.
2. Pertanyaan dari Bapak Chary Sunjana
Berapa persen anggaran yang dipersiapkan untuk biaya manajemen risiko ini?
Jawaban: Ini balik lagi Sebenarnya ke kondisi internal kekuatan organisasi, tidak ada angka pasti misalnya harus 3%, biaya manajemen reserve itu kita Patok 5% dari nilai tender misalnya, itu tidak semua organisasi kontraktor bisa seperti itu. Kalau mau Top Down dampaknya nanti kalau misalnya ternyata risikonya membesar dan tidak terkendali sehingga cadangannya terpakai habis bagaimana nanti. Kalau misalnya bottom up, merencanakan dari bawah dihitung secara mendetail dari bawah ke atas, kemungkinannya nanti cadangannya bisa besar sekali. Oleh karena itu kalau dikatakan Berapa besar anggarannya, tidak bisa secara "saklek" kita butuhkan, kalau misalnya takut sekali butuh sekian persen nanti akan menyudutkan tim proyek yang dibawahnya, nanti Tim proyek itu tidak bisa berinovasi dan bermanuver untuk mencegah risikonya itu membesar.
3. Pertanyaan dari Bapak Haerudin
Apakah ada keterkaitannya antara risk management di PMBook dan risk management based on ISO 31000? Apakah ada perbedaan atau ada kesamaan yang mendasar dari keduanya?
Jawaban: Saya dulu ketika di developer, saya kalau menerapkan risk management itu tidak menggunakan ISO 31000. Saya pernah diberikan standarnya, ISO 31000 itu compatible, Jadi kalau misalnya sudah paham ISO 31000 ketika diperkenalkan dengan framework PMBook ini itu lebih enak, Karena pada dasarnya saling menguatkan. Begitupun sebaliknya jika sudah kenal PMBook lalu diperkenalkan dengan ISO 31000 itu juga lebih enak. Jadi pada dasarnya kalau ISO 31000 adalah sebuah standar, kalau PMBook itu framework saja karena kerja hanya sebagai acuan. Jadi kesamaan ada, perbedaan juga namun saling menguatkan. Tapi saya tidak begitu mendetail bahas ISO 31000, saya waktu itu hanya pernah melihat standar saja, sebenarnya memperkuat dari PMBook itu.
4. Pertanyaan dari Bapak Elfiandi Rosna
Kondisi risiko yang seperti apa jika menggunakan kualitatif analisis dengan memakai monte carlo atau tornado?
Jawaban: Kalau untuk monte carlo atau tornado itu masuknya ke analisis kuantitatif, kalau kita bicara kuantitatif analisis itu kondisinya harus memiliki data yang banyak dan berkualitas. Tim proyeknya itu harus mau terbuka dulu. Misalnya kita mau menganalisis risiko RAB untuk menentukan biaya cadangan, untuk mendapatkan analisis yang berkualitas mengenai biaya kita harus ada komunikasi dengan tim penyusun RAB hubungan atau komunikasi Bagaimana waktu itu, membuat HSEnya seperti apa, asumsinya apa. Asumsinya apa ketika menentukan koefisiennya. Misalnya asumsinya tanahnya ideal, Apakah sudah survei ke sana? yakin atau tidak? Untuk analisis kuantitatif mau itu menggunakan monte carlo atau tornado harus ada data yang berkualitas dulu. Montecarlo itu Setahu saya harus menggunakan software, Adobe Project Risk management Kalau tidak salah, software canggih sekali bisa langsung terintegrasi dengan primavera, canggih dan rumit. Montecarlo itu pada dasarnya dia mensimulasikan sekian puluh ribu skenario ketemu confidence level seperti apa. Saya jujur belum pernah menggunakan monte carlo.
5. Pertanyaan dari Bapak Johanson Pardede
Mengenai aplikasi untuk management risk seperti metode Fast Track, Tailor Made, dan operasional critical threat, aset dan vulnerability apa perbedaan dan penggunaannya?
Jawaban: Fast Track yang saya tahu itu, terkaitnya bisa ke scheduling bagaimana kita mengubah keterkaitan setiap aktivitas, tadinya finish to start menjadi start to start plus lad, itu yang saya tahu. Itu memang betul kalau fast tracking itu istilahnya memparalelkan beberapa aktivitas itu memang akan meningkatkan risikonya. Jadi konteksnya lebih ke arah scheduling yang nanti dampaknya bisa meningkatkan risiko risiko untuk aktivitas aktivitasnya. Kalau tailor made dan operasional critical threat saya jujur belum paham dan belum pernah mendengar ini dalam konteks manajemen risiko, Tetapi kalau kita melihat vulnerability, kerapuhannya dalam konteks manajemen risiko ini bisa kita kaitkan dengan kekuatannya si organisasi, seberapa kuat organisasi ini ketika menghadapi risiko risiko yang cukup besar. Kalau sekarang ini pandemi, ketika pandemi ini terjadi project-project pada berhenti entah karena kondisi keuangan owner lagi terganggu sehingga tidak bisa bayar dengan lancar atau ternyata karena ada pembatasan aktivitas. Kalau aktivitas terbatas dan progres tidak tercapai akhirnya tidak dapat uang masuk dan kondisi finansial kontraktor jadi terganggu. Jadi kalau kita bicara bon vulnerability ini sebenarnya lebih ke arah restorence dan kekuatan organisasi tim proyek itu.
Profil InstrukturArio Bintang Koesalamwardi, S.T., M.T.
Dosen Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri: