1. Pertanyaan dari Ibu Siska
Di Kepulauan Meranti itu lahannya kebanyakan lahan gambut, dan sempat terjadi kebakaran yang asapnya sampai Malaysia. Dari pihak pemerintah mengambil langkah menggunakan satelit untuk mengecek jenis tanah, sehingga diperoleh kalau tanahnya tanah gambut. Sementara, itu bukan tanah gambut tapi tanah liat/tanah berlumpur. Sehingga, penerbitan sertifikat tanah menjadi sulit. Bagaimana solusi dari permasalahan tersebut?
Jawaban: Memang perbedaan fungsi lahan ini perlu aturan, oleh karena itu dalam penyusunan dokumen tata ruang, kita melakukan survey, kita mengenali kondisi lahan yang ada, ini sebenarnya konteksnya ranah hukum dan kelembagaan, karena penindakannya pun harus memiliki acuan hukum. Kalau misalnya wilayahnya mbak Siska ini belum memiliki dokumen RDTR, RT RW, itu dalam berkonflik bisa jadi antar 2 instansi itu, antar instansi pemberi izin atau masyarakatyang mengklaim. Solusinya adalah harus ada dokumen ini, karena dari pihak masyarakat itu ujung-ujungnya adalah menjadi penonton, penonton dalam artian mungkin ketika dampaknya terasa, kebakaran terjadi, adanya asap, itu kita bisa ajukan komplain, kita bisa ajukan keluhan kepada bupati atau kota atau melewati dinas entah pekerjaan umum penataan ruang, itu memang pelibatan LSM, media itu perlu kalau sudah menyangkut orang banyak. Karena kalau misalnya masalah tatau ruang itu dilakukan berhadapan secara sendiri-sendiri itu sulit, tetapi masalahnya penataan ruang itu selalu menyangkut orang banyak, jadi selama komplain atau mengajukan keluhannya secara serentak atas permasalahan ini, itu seharusnya bisa menjadi konsen buat pejabat, baik itu dari lurah, camat, hingga bupati atau kota. Karena ini sebenarnya masalah teknikannya jelas harus ada dokumen tata ruangnya, jangan sampai wilayah mbak Siska ini belum ada jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, setidaknya sekarang kita harus komplain yang acuannya adalah hak untuk menghirup udara bebas misalkan, karena ketika terbakar asapnya yang hirup siapa, Singapore dan Malaysia juga sudah mengajukan komplain keberatan kepada Kementrian Luar Negeri, ujung-ujungnya Diplomasi, masalah hukum, ini panjang prosesnya. Tindakannyapun kalau ruang lingkupnya masih kecil, kita kembalikan ke kesaadaran masyarakat masing-masing, seberapa Mbak Siska mampu menyadarkan masyarakat sekitar untuk aware dengan hal-hal seperti ini.
2. Pertanyaan dari Bapak Viktor Saragih
Untuk kasus tata kota khususnya di Jakarta dengan kondisi yang sudah berantakan, misalnya banyak penggunaaan yang tidak pada tempatnya, kota tidak ramah pejalan. Tanggapan Bapak terkait usaha apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki dan sejauh apa kebijakan pemerintah saat ini untuk mendukung setidaknya mengurangi ketidakteraturan tata kota di Jakarta?
Jawaban: Berdasarkan tanggapan pribadi dari saya, berdasarkan pengalaman dan pembelajaran, jadi tidak serta merta dijadikan acuan. Memang Jakarta ini dianggap kondisinya sudah berantakan jadi dalam perbaikannya itu malah mengeluarkan biaya yang sama dengan membangun kota baru, jadi sebenarnya kalau kita hubungkan dengan rencana pemerintah pusat untuk memindahkan ibu kota negara di Kalimantan Timur, saya secara pribadi ikut mendukung, kenapa? Karena, contohnya kita ingin membersihkan sungai Ciliwung, itu tiak bisa kita menurunkan petugas kebersihan untuk menyaring sampah itu tidak bisa, kita harus membedah jaringan rena se Jakarta ini, ini pembuangannya darimana saja, kenapa sungai Ciliwung ini warnanya sudah bukan bening tapi sudah coklat atau bahkan sudah hitam, itu kita harus membedah secara menyeluruh, biaya untuk membongkar beton, membongkar renase itu tentu lebih besar ketimbang kita membangun yang baru, apalagi kapasitas kota DKI Jakarta ini sudah besar/sudah berat, penduduknya sudah sampai 12 juta itu kita sudah setara dengan Tokyo, itu mereka juga keretanya terlambat 1 menit itu sudah di komplain luar biasa, terlambat dalam detik itu masinisnya sudah turun minta maaf, kalau Jakarta kereta terlamabt 10-15 menit kita masih maklum-maklum saja. Selain manajemen tata Kelola kita yang perlu dibenahi, memang fisik juga perlu, jadi sebenarnya untuk memperbaikinya itu butuh effort yang besar. Saya juga bahkan dalam beberapa forum menanyakan ke kementrian, apakah memang pembangunan sekarang itu selalu orientasinya kepada jumlah penduduk? Ketika jumlah penduduknya banyak disitu baru kita berikan kereta, kita berikan bandara, kenapa kita tidka membangunkan infrastruktur yang bertahap? Kita bangunkan dahulu bandara yang kecil, ketika jumlah penduduk sudah banyak kita kembangkan bandaranya, kita bangunkan jalannya, jadi insfrastruktur yang menarik penduduk, bukan penduduk yang menarik infrastruktur. Inilah yang menjadi cukup sulit, karena kebijakan pemerintahpun sebenarnya di satu sisi pemerintah pusat ingin membantu DKI Jakarta untuk mengurangi kepadatan penduduknya dengan memindahkan Ibu Kota, mengangkat seluruh kementrian, perangkat pemerintah pusat, otomatis penduduk Jakarta bis berkurang hingga 25%, hitung-hitungan saya secara kasar, karena PNS dan kementrian pasti membawa 3-4 keluarganya ke ibu kota baru. Jadi, sekarang ibu kota baru itu yang digencarkan pembangunannya jangan sampai tidak teratur lagi seperti Jakarta, spekulan-spekulan tanah itu harus ditahan sekarang. Dalam konteks ini walaupun saya memang perhatikan, banyak pejalan-pejalan kaki ini sudah mulai trotoar dibangun, diberikan barrier penahan dari kendaraan supaya aman pejalan kaki, tapi sayangnya suhunya di Jakarta ini yang tidak mendukung untuk kita berjalan kaki, dari datu tempat ke tempat lain. Dari halte ke halte saja itu kadang jalannya tidak tersubung oleh trotoar, penutup pohonnya atau atapnya sudah tidak nyambung, jadi masyarakat sendiri kalau mau berjalan kaki itu masih sulit. Jadi, saya rasa untuk kebijakannya memperbaikinya silahkan tetapi butuh effort, butuh rencana bertahap tidak berganti kepala daerah berganti lagi kebijakannya, ini harus ada kebijakan yang memang 1, yang dilalui oleh beberapa kepala daerah, jadi ini jatuhnya peraturan. RT RW ini kalau kita buar 2020, 2040 selama kepala daerahnya mengikuti rencana tersebut dan tidak mengubah, mengutak atik, meninjau kembali setiap mereka naik berganti kepemimpinan, itu Inshaa Allah perencanaannya bisa lebih bertahap dan lebih terarah, masalahnya sekarang kondisinya adalah berganti bupati, berganti walikota, dokumen berganti, berganti lagi kebijakannya. Semoga cipta kerja ini, disatu sisi ada pro kontra, tapi diharapkan untuk tata ruang bisa memberikan dampak yang positif.
Profil InstrukturDewa Sagita Alfadin Nur, S.T., M.T.
Dosen Urban and Regional Planning Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan
Pelatihan
Seminar/Pelatihan
Pengabdian
Publikasi
Prestasi
Pengalaman Profesional