1. Pertanyaan dari Bapak Ir. Gesit Rahasetia
1) Apakah ada Metoda Edukasi Manajemen Tanggap Darurat yang paling sederhana agar dapat diimplementasikan di lingkungan Kontraktor kecil sampai dengan menengah?
2) Manakah yang lebih dulu dilakukan Penetapan Tingkat Risiko atau Job Safety Analisys?
Jawaban:
1) Di dalam setiap konstruksi kecil ataupun menengah, minimal ada orang K3 nya yang cukup terlatih dalam penanganan. Kalau kecelakaan pralon ini berarti masalah P3K, Bapak dari perusahaan kecil minimal mempunyai prosedur, jadi dimana-mana SOP prosedur tanggap darurat itu harus ada. Jadi setiap pekerjaan itu apa kira-kira yang ada di situ, perusahaan kecil ataupun besar sama kita harus mengidentifikasi bahaya. Kita yang bisa melihat pekerjaan ini, kira-kira pekerjaan apa kemungkinan terjadinya apa, kita harus siap dengan prosedur emergencynya. Jadi tidak bisa kita bekerja tanpa prosedur emergency, tidak boleh. Maka seharusnya memiliki dua dalam setiap pekerjaan konstruksi, pertama mengerti masalah infiltrasi, kedua dia punya prosedur masalah keadaan darurat, membantu orang celaka itu seperti apa. Jadi sebelum pelaksanaan itu kita harus mengetahui dulu sumber daya manusianya seperti apa, ada orang K3 atau tidak, orang K3nya seperti apa, pengalamannya sudah berapa tahun, jadi harus berhati-hati kita dalam memilih orang K3. Kadang-kadang sertifikasi K3 itu bisa diperjualbelikan supaya dia bisa lolos, jadi kita harus benar-benar teliti.
Kebetulan selama konstruksi itu saya sebagai user, saya tidak sembarangan saya lihat, saya interview orangnya.
Dan prosedur itu harus kita latih, istilahnya kalau di kita itu emergency drill, macam-macam kejadian kita bisa buat skenarionya. Dimana untuk melakukan bila terjadi kejadian seperti ini, emergency drill itu minimal 1 kali setahun, makin sering makin bagus jadi sudah terbiasa. Kadang-kadang kita ini kalau sudah ada kecelakaan jadi panik karena tidak pernah baca prosedurnya, tidak pernah disosialisasikan, atau mungkin tidak punya, itu bisa kejadian.
2) Tingkat risiko ini sebenarnya bisa kita buat, dengan menggunakan risk matriks, dia berbentuk tabel-tabel, sehingga nanti didapat risk rankingnya apa, tinggi menengah atau rendah. Tapi yang paling simpel adalah sudah saja lakukan JSA.
Seperti pralon tadi dalam memasang pralon, Bapak lakukan saja JSA, JSA itu mengidentifikasi bahaya-bahaya setiap langkah pekerjaannya. Seperti tadi lupa mengelem, kalau Bapak melakukan JSA itu pasti ada karena langkah-langkah pekerjaan, mengelem ini langkah keberapa nanti bisa teridentifikasi. JSA itu brainstorming dengan para pekerja atau orang K3, yang susah itu orang K3 tapi tidak mengerti JSA, jadi kita harus ajari dulu. Yang membuat JSA itu tidak hanya orang ketiga. Jadi saya menyarankan setiap kegiatan itu tolong dibuat JSAnya, karena JSA ini dia akan mengidentifikasi bahaya-bahaya yang ada di setiap langkah pekerjaannya.
2. Pertanyaan dari Ariel Natanael
1) Untuk biaya K3 sendiri, itu nilainya berapa persen dari suatu Proyek Konstruksi sesuai anjuran pemerintah? Dan pengaplikasian di lapangan sesuaikah? Mengingat, beberapa tahun ini ada tambahan Safety yaitu Covid-19.
2) Untuk K3 sendiri, apakah bisa dimodelkan dalam Aplikasi BIM?
Jawaban:
1) Saya sebagai user perlu membuat owner estimate, maksimum 5%, pada saat itu saya patok 7% dari total biaya, jadi kalau misalnya 1 M, 7%nya itu 70 juta. Saya ambil lagi sampai 8%, disitu kita fight manajemennya, apalagi di covid-19 ini menambah lagi. Ada di suatu perusahaan 1 bulan itu kerja, 1 minggu off, pada waktu off dia itu di rumah, pada covid-19 ini dilakukan PCR atau antigen itu biaya. Kalau saya dalam menghitung anggaran itu tidak pernah pas-pasan tapi lebih besar.
2) Itu memang sangat bagus kalau kita bisa gunakan, ini pernah saya lakukan pada waktu proyek, ini lebih sangat bagus sekali, namun kembali lagi biaya lagi. Dan BIM ini belum tentu kita bisa, kita manggil orang ahlinya atau konsultannya.
Saat ini orang Process Safety Engineering itu laku banget, dicari orang sekarang.
3. Pertanyaan dari Bapak Assadul Asad
JSA atau SOP yang utama? JSA kenapa tidak di Include-kan saja dengan SOP? Saya dari perusahaan Konstruksi Perkapalan Menengah (Kapal Laut).
Jawaban:
Jadi bapak shypyard, docking itu karena ada masalah di kapalnya sendiri. Jadi shutdown dalam pengertian saya itu dalam suatu proses, shutdown itu adalah suatu peralatan operasi yang trip, istilahnya masuk bengkel. Setiap kapal mau masuk, itu pasti yang punya docking itu memiliki aturan-aturan tertentu, itu yang Bapak harus ikuti. Di shypyard Bapak ada atau tidak prosedur prosedur SOP yang terkait dengan K3. Kemungkinan di docking itu tidak hanya kapal Bapak tetapi banyak kapal yang lain, pasti mereka akan melakukan ada yang namanya jarak aman atau tata letak aman. Pasti di shypyard bapak punya SOP K3, misalnya terjadi mati mesin, kalau mati mesin itu termasuk insiden, mati mesin kapal tidak bisa jalan sehingga produksi atau rutinitas bapak akan terganggu. JSA itu memang harus ada prosedurnya, JSA itu memang harus berbentuk prosedur, karena disitu ada tanggung jawab dan wewenangnya.
Masalah manwhole, Bapak harus menerapkan prosedur LOTO dan bekerja di ruang terbatas. Lockout dan tagout harus ada prosedurnya semua, bagaimana bapak untuk melakukan pekerjaan di ruang terbatas, sebelum berupa modul kita harus prosedur LOTOnya dulu, jadi kita me-lock bahan gas masuk kemudian di tagout. Kalau ada tag orang tidak akan mau mengganggu, apalagi kalau tidak di gembok kalau, nanti ada orang yang membuka padahal di dalam ada orang. Ruang terbatas yang paling sering itu terjadinya ledakan, sangat berbahaya.
Profil InstrukturIr. Daliansyah Danil, MM, CSE, IPM
Pengurus DPP Asdamkindo, Praktisi K3
Deskripsi Pemateri:
PENDIDIKAN
S1, University of Indonesia, Jakarta, Electrical Engineer (Ir), 1981
Certified, Texas A&M University, USA, Certified Safety and Health Engineer, CSE, 1991
ST IMMI Jakarta, Magister Management, MM, 2010
PII Jakarta, Associate Professional Engineer, IPM, 2015
PENGALAMAN PROFESIONAL
28 years Total Experience, all with PERTAMINA, as 10 years electrical supervisor/senior electrical
engineer maintenance in Refinery and 10 years HSE in design, engineering, construction,
commissioning, maintenance, operation, and budget planning and 3 years fire safety
specialist/advisor, 5 years in Safety Management System of HSE Corporate of PERTAMINA General
Affair & Human resources Directorate.
FIELD EXPERIENCES
10 years, as electrical supervisor/senior electrical supervisor in design, construction, start up and
maintenance Steam/Gas Turbine Power Generation Plant and Electrical Distribution System
of Refining Petroleum and Petrochemical Plant, Pertamina Unit III in Plaju/Sungai Gerong, South of
Sumatera
7 years, as Fire Safety Environment Engineer/ Group Head in PT. Badak NGL. Bontang, East
Kalimantan and as Team member in HAZOPS Committee. Involved on Safety and HAZOPS and QRA
review in several Pertamina LNG project (Train F/G) and PT. Badak project (Halon 1301 replacement,
fire alarm and detection system, dry chemical system, etc).
3 years, as lead HSE engineer of Pertamina LNG Tangguh Project during Engineering Basic Design
Phase. Evaluate and review the Detailed Engineering, Procurement and Construction packages for
Tangguh LNG project.
2,5 years, as Operation Safety Management Specialist in HSE Corporate of General Affair and Human
Resources Directorate Jakarta
2,5 years, as Safety Manager in HSE Corporate of General Affair and Human Resources Directorate
Jakarta
1,4 years, as Quality Assurance Health Safety Environment (QAHSE) Manager PT Technip Indonesia
Jakarta.
3,5 years, as Process Safety Engineer and HSE Coordinator for FEED (Front End Engineering Design)
and EPC (Engineering Procurement and Construction) for several oil and gas Project at Joint Operating
Body PERTAMINA-Talisman Jambi Merang Company Jakarta.