1. Pertanyaan dari Bapak Boni Laksito
Bagaimana cara yang mudah dan konkrit untuk mengidentifikasi waste dalam organisasi? Pengalaman saya, tidak mudah untuk mengidentifikasi waste ini.
Jawaban: Mengidentifikasi waste ini tentunya harus dilakukan dengan melakukan observasi. Sebetulnya ada proses yang mana kita harus empathize, dimana kalau kita bicara tentang empathizen ini kita melakukan observasi, wawancara, immersion. Kita itu kecenderungannya menghakimi orang, tanpa kita tahu apa sebenarnya yang dialami, itu sebabnya di proses empathize ini, observasi, interview dan immersion artinya kita tidak hanya sekedar melihat, kenapa kinerjanya seperti itu? Tetapi kita juga tanya, kenapa kamu begitu? nanti dia akan cerita. Kemudian lanjut ke immersion, immersion ini adalah bagaimana kita bisa merasakan apa yang dia rasakan, dengan cara menduplikasi apa yang dia lakukan, dengan demikian maka disitu akan kena. Waste nya dimana? Apakah di konteks pekerjaannya terlalu banyak/overwork? Atau memang orangnya yang kurang skillnya? Jadi, kalau kita gunakan proses design thinking ini maka proses empathize inilah untuk mengidentifikasi waste itu tadi.
2. Pertanyaan dari Bapak Anggoro Prasetya
Bagaimana menerapkan dan bisakah lean metodologi diterapkan dalam dunia proyek? Karena proyek sifatnya unik.
Jawaban: Justru di projek inilah yang sangat memerlikan lean approach ini, karena perubahan itu pasti banyak sekali, terutama kalau kita bicara proyek konstruksi. Kita harus aware terus tentang perubahan yang mungkin ada, supaya continues improvement, bukan hanya improvement yang ada di akhir, tetapi di dalam prosesnya ini kalau kita kaitkan dengan entrepreneurship bahkan ketika kita bicara berada di konteksnya prototype itu kita kembali lagi ke depan, kita identifikasi lagi masalahnya apa. Iteration proses ini betul-betul bolak-balik harus kita lihat. Sejujurnya memang cape, tetapi kalau kita sudah bisa melakukan iterative proses ini, kembali lagi ke awal lalu mulai lagi (terus-terusan seperti itu), biasanya at the end hasilnya jauh lebih memuaskan, itu pengalaman saya.
Saya pernah ada projek bikin hotel, restoran, dari mulai konstruksi, kadang-kadang kita sudah memiliki planning, kita ikuti planning itu ternyata tidak bisa karena ada uncertainty / ketidak pastian. Projek itu kadang di ‘phpin’ oleh berbagai macam, seperti masalah keuangan, material, dsb, itulah sebabnya lean approach di dalam entrepreneurship perlu dilakukan secara berulang. Jadi, kalau kita sudah memiliki planning itu tidak tabu untuk mengubah planningnya kalau memang itu diperlukan.
3. Pertanyaan dari Bapak Sugeng
Ideate itu maksudnya apa ya? Apakah brain storming?
Jawaban: Ya, Ideate itu brain storming, jadi begitu sudah mendapatkan data dari empathize, kita mendefinisikan problemnya apa, kalau kita sudah mendapatkan problemnya, kita melakukan ideate itu adalah proses brain storming dimana kita harus menemukan solusi atau alternatif solusi dari masalah-masalah yang sudah kita identifikasi dari proses empathize dan define.
4. Pertanyaan dari Bapak Soni Iskandar
Bagaimana jika waste dilakukan oleh top manajemen dengan budaya kerja yang sangat kaku (feodal)?
Jawaban: Jadi kalau kita kembali ke entrepreneurship sebetulnya kalau pimpinannya itu punya budaya kerja yang masih kaku, yang tidak mau tahu, itu kita kembali lagi ke bagaimana kita bisa menciptakan entrepreneurship sustainable grow, kalau misalnya dari pimpinannya belum mau berubah, maka kebawahnya akan sulit berubah. Itulah sebabnya, ketika kita bicara konteks entrepreneur, kita perlu memahami 5 dimensi, yakni spiritual mastery, entrepreneurial leadership mastery, entrepreneurial mastery, research mastery, dan business mastery. Kalau kita mau punya perusahaan/organisasi yang melakukan continues improvement maka kitanya juga mau berubah, karena continues improvement ini adalah proses yang membutuhkan orang-orang yang mau berubah. Kalau orangnya tidak mau berubah, maka continues improvement saya jamin tidak akan pernah bisa terlaksana, itu berdasarkan pengalaman, dan beberapa contoh yang sudah kita lihat.
5. Pertanyaan dari Bapak Pantani Dahlan
Bagaimana usaha yang dilakukan seorang pimpinan yang sudah tahu performance karyawan jelek tapi tetap membiarkan?
Jawaban: Kembali ke allocation resources, jadi sebetulnya kalau kita bicara tentang kita sudah terlalu banyak kerjaan, kemudian ditambah karyawan yang tidak maksimal kerjanya, allocation resources disini bicara tentang mungkin ada yang harus kita perbaiki, perbaikinya berbagai macam, kalau dari sisi saya, di telaah lagi business prosesnya seperti apa, resources, allocationnya bagaimana, karyawanannya, sumber daya yang lainnya, itu diuraikan ulang melalui lean approach ini. Dan lagi-lagi ini bisa digandeng dengan proses design thinking di dalam entrepreneurship, dimana kita harus mengamati, kita harus tanya, kita harus merasakan, apa yang membuat segala sesuatunya ini menjadi lambat dan ada penghambat kinerja. Kalau menurut saya jawabannya ada di lean methodology ini dan konteks lean di entrepreneurship. Dan ada 1 hal yang saya sampaikan juga, budaya Indonesia itu kecenderungannya adalah “yasudahlah, biarkan saja kalau dia seperti itu mau gimana lagi, nanti kita mohon saja sama Allah supaya dia mau berubah” di dalam organisasi tidak bisa seperti itu, di da;am organisasi kalau misalnya kita bicara tentang organisasi yang profitable kita harus bisa tegas. Itu sebabnya entrepreneurial leadership mastery itu perlu kita miliki, karena tujuan perusahaan ini harus sama-sama bisa di raih, tidak hanya oleh leader saja tetapi oleh keseluruhan dari organisasi/stake holder perusahaan. Kadang-kadang memang hal ini, di sebuah organisai atau perusahaan yang konvensional itu, karena kita teman jadi “gaenak” tidak bisa seperti itu, istilahnya “dapur harus tetap ngebul”. Itulah sebabnya di dalam entrepreneurship sustainable approach ada sifat-sifat kewirausahaan yang mesti kita kuasai dahulu, kita harus menguasai itu, kalau misalnya kita tidak menguasai maka “you don’t talk about entrepreneurship anymore”. Menurut saya, kombinasi antara entrepreneurship dengan lean approach ini adalah sebuah kombinasi yang luar biasa, sehingga membuat kita sebagai pebisnis ataupun kita sebagai karyawan di sebuah organisasi/perusahaan itu perlu memiliki jiwa kewirausahaan sehingga semua masalah yang ada di depan kita ini bisa kita selesaikan.
6. Pertanyaan dari Bapak Hironimus
Bisa minta 5 ide inovatif untuk internal marketing di retail atau hospitality company?
Jawaban: Kalau dalam proses pekerjaannya karyawaan, kita bisa bikin lomba, kalau retail misalnya waktu saya di restoran, saya ingin makanan baru ini bisa laku ”bagi yang bisa menjual 10 porsi dalam jangka waktu sekian hari, maka akan mendapatkan reward” rewardnya tidak harus dari kantong perusahaan, bisa kita cari, kita punya supplier, kita bisa saja kerjasama sama suppliernya. Itu bisa beruntun, bukan hanya untuk karyawan, tapi juga buat kita, suppliernya manfaatnya.
Kalau mau secara menyeluruh juga bisa, contoh kita punya target penjualan di retail, penjualan kita misalnya sekian di bulan ini, misalnya harus tembus 750 juta targetnya dan ketika itu tembus kita harus menyisakan sedikit untuk kasih reward ke karyawan kita, seperti jalan-jalan ke suatu tempat atau piknik, dan kita juga bisa libatkan supplier, karena supplier dapat reward dari kita. Artinya dengan rezeki kita bertambah, kita juga beli bahan baku dari supplier itu lebih banyak.
Profil InstrukturEdvi Gracia Ardani, M.Par
Dosen Entrepreneurship Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri: