1. Pertanyaan dari Bapak Fritz Kwannandar
Kalau di kontrak awal tidak dibahas mengenai keadaan kahar/keterlambatan akibat gambar yang terlambat diberikan misalnya. Apakah bisa kontrak dapat diperbaharui ketika kontraknya sedang berjalan atau dengan cara lain?
Jawaban: Memungkinkan, ketika suatu pelaksanaan pekerjaan konstruksi itu dilakukan amandemen ataupun adendum kontrak, amandemen ataupun adendum kontrak ini fungsinya untuk memastikan kembali bahwa proyek itu berada di track yang benar terkait pemenuhan hak dan kewajiban para pihak, karena kalau kita ‘kekeuh’ tetap harus kontrak awal yang dijalankan, padahal sudah jelas terjadi keadaan kahar, atau terjadi keterlambatan yang disebabkan kelalaian kontraktor, oleh karena itu perlu penyesuaian terhadap ketentuan di dalam kontrak dan itu diperbolehkan dan wajar terjadi. Umumnya misalnya yang terkait dengan keterlambatan akibat kelalaian dari pihak owner, disini kontraktor wajar untuk mengklaim extension of time, ketika extension of time itu sudah di approve maka perlu dituangkan di dalam kontrak, bahwa ini sudah menjadi dilakukan amandemen dan tanggal penyelesaiannya menjadi mundur karena adalanya perpanjangan waktu ini sehingga adanya waktu/tanggal penyelesaian yang baru. Jadi, boleh boleh saja / bisa di amandemen kontraknya.
2. Pertanyaan dari Bapak Winarko
1) Tipe kontrak EPC dan tidak ada klausal kahar Pandemi, kami intents notification ke Owner, akan tetapi Owner tetap minta Project delivery as per contract tidak berubah time schedule dan cost impact (karena extend dan biaya medical/Prokes). Bagaimana sikap EPC Contractor?
2) Main Contractor berkontrak dengan Subcontractor/Fabricator dengan isi kontrak “Unit price tetap/no change/escalation”, saat ini Fabricator klaim eskalasi harga karena harga di pasar raw material bertambah. Bagaimana baiknya sikap kontraktor?
Jawaban:
1) Kontrak EPC ini lumpsump kontrak, jadi banyak resiko yang adanya di kontraktor, jadi sebenarnya kalau kita lihat dari identifikasi resiko banyak yang harus kita perhatikan adalah material equipment, biasanya itu dari luar negeri, dari resiko dolarpun itu biasanya sudah menjadi lumpsump, resikonya kontraktor. Memang pada umumnya itu tidak diatur, kasus kahar ini karena mungkin ini pandemi sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diprediksi bakal terjadi. Untuk kontraktor EPC ini memang pasarnya lumpsump maka bagaimanapun itu akan sulit sekali untuk mengklaim ini, karena memang dari pihak ownernya mereka memiliki anggaran dimana kalau misalnya anggarannya akan melewati dari itu nanti tidak sesuai lagi dengan sketch outputnya mereka, karena mereka akan menghitung ini semua, tentunya dari owner juga akan terjamin anggarannya dia pasti akan sulit untuk meminta kita tambahan biaya, mungkin untuk schedule masih ada beberapa projek yang aga longgar dan bisa di maklumi kalau memang ownernya jadwalnya tidak streak karena disini masalahnya terkait waktu dan biaya saat di pelaksanaan konstruksi. Pada dasarnya ini akan terkait dengan kapan runningnya, kapan dia akan produksi, kapan BEPnya. Kalau untuk cost impact ini saya pikir akan berbeda kasus karena harus lihat isi kontraknya dahulu seperti apa, jadi untuk pertanyaan general ini aga susah jawabnya, nanti akan disesuaikan dengan kasusnya, ini pasti ada yang bisa ada juga yang tidak bisa.
Kalau kita lihat di UUJK itu ada pasal dalam penjelasan UUJK bahwa force major itu, para pihak mengevaluasi risknya. Jadi kontrak itu, apapun kontraknya bukan berarti resikonya semua tanggung jawab kontraktor, pola risknya adalah seberapa jauh risk alokasi tadi yang terjadi affected dari pandemi yang harus dibuktikan tidak hanya oleh kontraktor tapi oleh para pihak karena UUJK pada penjelasan terkait dengan keadaan kahar itu menyatakan para pihak dapat menyepakati. Seharusnya dalam konteks keadaan kahar, seandainya kontrak tidak mendefinisikan dengan jelas itu kita jadinya ke doktrin hukum. Kahar ini atau keadaan force major ini akhirnya harus di define oleh para pihak seberapa jauh resiko itu terjadi kepada projek. Kalau kita bilang covid ini di 2020 setelah saya diskusi dengan PUPR, pandemic ini di Indonesia itu kita sebagai force major yang sifatnya relative, jadi tentu dalam hal ini para pihak di dalam projek mengevaluasi resiko yang terimpactnya terhadap projeknya itu seperti apa. Kalau seandainya ditolak bagaimana? Yang kita lakukan adalah tetap dilakukan record-record, kalkukasi, dan evaluasi yang detail dengan apa yang terjadi dengan perubahan resiko di projek kita, entah itu cost atau waktu. Yang harus kita pahami akibat pandemic ini, bahwa kita yang di expert kontrak ini sudah bisa memprediksikan akan ada gelombang yang sangat besar baik itu dari waktu atau biaya. Apa sikap kontraktor? Juga dengan ownernya, mari kita lakukan pendataan, record dengan itikad baik, kemudian early warning system, pencatatan, surat menyurat, pembahasan dan semuanya yang nantinya membuktikan bagaimana risk yang tadinya diperjanjikan di kontrak awal berubah akibat pandemic ini. Dengan konteks bahwa covid19 ini kalau dari Kesehatan masyarakat / force major absolut tapi terhadap kontrak privat termasuk didalamnya kontrak konstruksi itu kemungkinan akan terjadi force major relative, bisa jadi force major bagi kontrak tertentu tapi belum tentu kepada kontrak lainnya. Percayalah bahwa komunikasi yang bagus, record yang bagus dengan itikad baik itu pasti akan ada solusi dalam mengecek risk yang terjadi akibat pandemi.
2) Misalnya sekarang besi tinggi sekali harganya. Kita harus lihat dahulu gimana si matriksnya, jadi kalau misalnya ini besi baja dimana harganya ini sangat tinggi. Ini pemainnya banyak, secara kontrak ada jaminannya perencanaan, kalau memang aga streaknya ini pasti akan ada pemutusan kontrak karena dia tidak berhasil melaksanakan. Kalau kondisi sekarang itu sebaiknya saya saraninnya pakai kontrak phisired, bisa rencana jadi tidak ada kerugian, resikonya semua bisa termitigasi semua.
Sebenarnya kalau kita berbicara mengenai MKK (Manejemen Kontrak Konstruksi) intinya itu lebih ke seni, seni negosiasi. Menjawab pertanyan 1 dan 2 ini tergantung pada negosiasi kedua belah pihak, seni negosiasi ini juga merupakan sebuah kompetensi dalam MKK dan kalau misalnya terkait kahar akibat pandemi, dan saya mendapatkan laporan dari beberapa temen kontraktor untuk proyek-proyek pemerintah di daerah mereka memang punya keterbatasan, kontraknya itu tidak mencantumkan perihal peristiwa pandemi sebagai salah satu jenis kahar, kemudian ketika mereka meminta perpanjangan waktu ditolak, artinya tender pun tidak mau adanya perubahan, ini terlepas dari EPC atau apapun bentuk kontraknya. Cuma kalau dari saya pribadi apa yang bisa dilakukan oleh kontraktor EPC ataupun kontraktor lainnya itu adalah negosiasi. Karena pada intinya kalau misalnya employer tidak memahami resiko, semua ini pasti employer akan membebankan semua resikonya kepada kontraktor, ada kemungkinan kontraktor tidak mengerjakan pekerjaan secara baik. Misalnya ‘saya tidak mendapatkan perpanjangan waktu’ bisa jadi dia akan memutuskan secara sepihak, bisa jadi dia tetap melakukan pekerjaan namun karena dia harus menanggung resiko terkait biaya perpanjangan waktu sehingga dia akan mengalihkan resiko itu ke aspek lainnya, misalnya mutunya, dll. Ini adalah beberapa pengalihan resiko yang tidak benar/tidak tepat.
Cara kedua yang bisa dilakukan kontraktor dalam menghadapi ini, sebenarnya keadaan kahar itu sudah dijamin oleh Undang Undang kita, artinya kalau misalnya terjadi keadaan kahar dan salah satu pihak menolak perpanjangan waktu / menolak klaim, maka pihak yang dirugikan dapat pergi / meminta sengketa ini melalui jalur pengadilan, melalui jalur pengadilan inilah nanti pengacara maupun hakim yang akan memutuskan berdasarkan record, surat menyurat, dll, karena semua itu perlu pembuktian.
3. Pertanyaan dari Bapak Boidewyn Sahat
Apakah masa pemeliharaan dapat diperpanjang? Apakah kontraknya juga harus di addendum jika masa pemeliharaan diperpanjang?
Jawaban: Bisa, jadi memang perlu diaddendum.
4. Pertanyaan dari Bapak Krisna Kusdinar
1) Mohon info regulasi internasional dan nasional terkait MKK mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi.
2) Terkait klausul HSE dalam EPC O&G, Mining. Apakah klausul HSE menjadi bagian kontrak (wanprestasi apabila tidak dipenuhi) atau side agreement tersendiri?
3) Untuk standarisasi kontrak FIDIC, sejauh mana standarisasi kontrak tersebut menjadi keharusan dalam kontrak EPC di Indonesia?
Jawaban:
1) Kalau MKK ini sebenarnya banyak lahir kalau dari Internasional itu Kemenku, kalau QS sendiri secara internasional sudah punya RIS, RIS banyak mengeluarkan peraturan, peraturan MKK ini sifatnya tidak harus dipakai. Misalnya kontraktor nasional ownernya nasional ingin memakai FIDIC boleh juga, disesuaikan dengan kesepakatan para pihak.
2) Apapun yang menjadi bagian dari kontrak, kontrak konstruksi itu kompleks, ada performance, teknikal, dll. Kalau untuk EPC biasanya penuh dengan kriteria, jadi ada performance kriteria, achievement, dan dia multidisiplin karena overall proses juga ada di tanggung jawab kontraktor. Jadi intinya, bagian dari klausul seperti HSE maupun achievement nya, syarat safety, dsb otomatis menjadi bagian dari kontrak, jadi dia adalah implied condition sekaligus juga conditional tertulis untuk pencapaian EPC kontraktor. Apakah perlu agreement sendiri? Atas kesepakatan para pihak, karena yang disebut dengan kontrak beserta seluruh yang digabungkan di dalamnya. Ada klausul, ada terms condition yang spesifik untuk safety, health, regulation, termasuk misalnya penanganan limbah untuk proyek-proyek yang high requirement
3) Kembali lagi, bahwa kontrak itu lahirnya dari perikatan, kesepakatan para pihak. FIDIC itu sendiri adalah asosiasi internasional yang terdiri dari seluruh dunia, tergabung dengan para konsultan engineer, dimana dia mengeluarkan salah satunya, produknya adalah standar kontrak. Standar kontrak ini sifatnya model bukan internasional law, jadi dokumen ini bukan dokumen hukum, pada saat dia dipakai oleh para pihak masuk ke dalam perikatan maka jadilah Undang-Undang bagi para pihak, keharusan ini sejauh penggunanya.
5. Pertanyaan dari Bapak Fritz
1) Bagaimana menurut bapak jika perusahaan kami ditawarkan pekerjaan di suatu developer namun kami diminta untuk menghitung kuantitasnya? Kata pihak developer, mereka belajar dari pengalaman sebelumnya, terjadi dispute antara mereka dengan kontraktor karena kuantitasnya dihitungkan dari developer. Apa yang harus kami (kontraktor baru) lakukan? Saya melihatnya ini juga dapat sebagai keuntungan di Developer karena jika kami salah menghitung / kuantitasnua kurang, maka mereka akan mendapat keuntungan dan kami dirugikan.
2) Apakah kontrak konstruksi antara kontraktor dan owner saja sudah memenuhi prinsip sah secara hukum? Atau perlu pihak ketiga?
Jawaban:
1) Menurut pengalaman saya, BOQ dihitung oleh masing-masing pihak. Owner memiliki perhitungannya sendiri, yang akan menjadi pagunya/dasar dia untuk membandingkan penawaran, kemudian kontraktor juga menghitung sendiri karena menurut kontraktor untuk menghitung BOQ dan RAB itu berfungsi sebagai estimasi harga ketika dia akan menawarkan harga penawarannya. Jadi seharusnya para pihak masing-masing menghitung sendiri-sendiri dan nanti di compare.
2) Kontrak bisa disebut sah jika memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan di dalam KUHPer pasal 13 ayat 20 bahwa kontrak itu harus memenuhi 4 syarat supaya sah, yaitu : a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya, yaitu kedua belah pihak, b. Kecakapan, para pihak itu memang cakap membuat sebuah perikatan, misalnya salah satu pihak tidak cakap, seperti dibawah umur itu tidak berlaku kontraknya, c. Suatu pokok persoalan tertentu, yaitu pelaksanaan pekerjaan , d. Harus sesuatu yang tidak terlarang, tidak melanggar ketentuan umum di Indonesia.
6. Pertanyaan dari Ibu Sandra Suryany
Untuk pengajuan klaim apakah bisa diajukan setelah serah terima akhir atau pengajuan harus sebelum serah terima akhir (masa kontrak masih “hidup”)?
Jawaban: Kalau untuk pengajuan klaim itu seharusnya sebelum masa BST, kalau bisa pun jangan lumpsump atau global klaims. Misalnya 10 bulan proyeknya, ada kejadian di bulan ke 2/3/4, sudah tahu itu ada potensi klaim maka harus kontraktor memberikan notifikasi, kotraktor akan mengajukan klaim. Itu bisa lebih baik kalau praktek base practice nya dilakukan berkala atau per kejadian, yang umumnya terjadi di Indoesia adalah global claim, sampai mendekati akhir sekali baru digelondongkan, yang terima juga kaget untuk employernya. Kenapa saya menerima sekian M, padahal itu sebenarnya adalah hak dan kewajiban dari para pihak untuk penyelesaian klaim.
7. Pertanyaan dari Bapak Ahmad Yasin
Dalam proses pengukuran kinerja terdapat risiko yang berupa klaim pekerjaan yang tidak diakui oleh client atau terjadi perselisihan terkait pekerjaan yang hendak dilaksanakan dan klaim pekerjaan yang telah diselesaikan. Dari aspek kontraktual (maupun dari aspek lainnya), bagaimana tindakan yang sebaiknya dilakukan untuk memitigasi resiko tersebut?
Jawaban: Pertama, Kalau kita bicara resiko kita harus lihat dulu kontraknya, jadi asumsi seberapa jauh resikonya itu akan berpengaruh dengan tipe kontrak. Walaupun EPC tapi ketentuan atas klaimnya itu seperti apa, kemudian klaim dari kasus ini sebenarnya lebih ke pekerjaan perubahan, jadi terjadi pekerjaan yang tidak diakui. Sehingga, menurut saya pertama yang kita harus lakukan adalah klaim itu ada waktunya, harus cek kontrak itu ada atau tidak batasan waktu untuk mengajukan notifikasi ataupun klaim, biasanya disebut timer close. Semua yang disebut dengan klaim sebenarnya harus pembuktian hak, sehingga yang harus dilakukan kita berhitung progress pekerjaan, kalau kita hold ini nanti kita tidak selesai jadi pending. Yang paling tepat pertama, kontrak itu harus di akses dulu kemudian penyebab perubahannya apa, dan yang paling sering kontraktor lupa adalah kita harus cek juga pada proses perolehannya, pada saat tender itu ada atau tidak sehubungan pekerjaan yang tidak diakui, apa klarifikasinya pada saat tender, itu harus disusun sedemikian rupa, kemudian harus dilakukan komunikasi mengenai apa pandangan kita sehubungan dengan resiko yang mau sedang dilakukan. Jadi, harus ada early warning system, komunikasi walaupun kontrak pekerjaan kita dilapangan tetap dilaksanakan sesuai dengan keperluan dari ketentuan di lapangan, jadi menghindari adanya keterlambatan di belakang yang justru nanti membelit kontraktor. Dan setelahnya akan ada negosiasi, pengukuran dari para pihak sehubungan dengan resiko. Singkatnya adalah komunikasi dan evaluasi atas pengukuran resiko itu harus dikomunikasikan bersamaan dengan pekerjaan fisik dilakukan.
8. Pertanyaan dari Bapak Martin Adritya
Terdapat pasal di kontrak yang ambigu dan abu-abu terkait misalnya kontraktor harus mempertimbangkan “Interchangeable system dan efektifitas operasional” yang hal tersebut tidak disebutkan di dokumen tender dan sow dari owner.
Jawaban: Jadi memang proyek EPC, sayangnya semua pasalnya itu “sapu jagat”, tetapi kita bisa melihat, dasar dari proyek EPC itu employee requirement, pada proyek delivery untuk projek yang sifatnya terintegrasi seperti EPC memang akan ada dispute atau grey area yang terkait dengan fit of purpose itu apa. Jadi, dispute engineering di proyek EPC, disinilah MKK jadi berbeda dengan lawyer, karena dia akan masuk ke dalam interpretasi kontrak, yang mana secara hukum adalah kontrak dalam konteks engineeringnya.
Dokumen employee requirementnya tertera jelas tidak performance bagiannya, karena dalam fit of purpose di FIDIC termasuk ada 1 kajian khusus, karena dari segi teknikal jadi sangat lebar sekali levelnya, jadi bisa fit of purpose, baf, luxury. Kita Kembali ke fit of purpose dengan pastinya proses tender EPC projek ini akan sangat berpengaruh, apakah memang poin ini diserahkan kepada kontraktor dalam melakukan proposal, atau prosesnya EPC yang abu-abu dalam arti sudah ada basic design atau konseptual design yang masuk di dalam employee requirement, hal ini akan berbeda akibatnya. Langkah untuk membedah dimana posisi kita sebenarnya di dalam case ini, darisitu. Buka kembali dokumen kontraknya, dilihat pluritynya kepada employee requirement, lainnya yang tertera di kontrak, kemudian nanti ada evaluasi engineering apakah sampai level Interchangeable system ini, dimana itu perlu ada diskusi yang spesifik terkait system itu, Interchangeable ini akan tertera atau tidak di dalam keseluruhan proses yang harus dicapai.
Kalau bicara efektivitas lebih beyond lagi daripada only fit of purpose, efektivitas itu ukurannya apa. Kita design ke engineering sistemnya, misalnya bisa dibandingkan ada atau tidak di sekitar lokasi atau project itu yang sudah berjalan, bisa tidak diukur efektivitasnya dengan ukuran-ukuran yang lebih terukur. Jadi untuk proyek EPC untuk mengecilkan area abu-abu dan disputenya memang sangat kental dengan kemampuan tim engineering kita.
9. Pertanyaan dari Bapak Ramon
Kami sudah BAST-1 bulan September 2020 dengan masa pemeliharaan 12 bulan. Kenyataan di lapangan masih ada 20% unit hunian yang belum serah terima ke tenant/pembeli. Apakah BAST-2 bisa dibuat parsial atau harus menunggu masa pemeliharaan semua item kontrak terpenuhi?
Jawaban: Harus dipisahkan antara serah terima dari kontraktor ke developer, dan developer ke tenant, kalau memang dari awal developer ingin mengkaitkan itu harusnya sudah disampaikan, tapi tetap susah karena memang memiliki 2 kontrak yang berbeda. Misalnya dari kontraktor ke pemberi kerja, sehingga nanti yang disebut serah terima itu sesuai dengan kontrak developer dengan kontraktor nanti harus dikaitkan dengan serah terima dengan pembeli. Karena bisa saja, kontraknya dengan developer ke pembeli itu beda lagi, namun kalau ini hal yang sama yang bisa di satukan, maka bisa dikaitkan, jadi serah terimanya ke tenant adalah syarat dimana boleh diserah terimakannya antara kontraktor dan developernya. Apa bisa dibuat parsial atau tidak? Itu dikaitkan dengan kesepakatan kedua belah pihak karena misalnya kalau apartemen bisa saja, ada beberapa tower yang itu bisa dilakukan secara parsial, dan yang namanya BAST suatu proyek apartemen pasti dilakukan secara parsial walaupun BAST diberlakukan secara keseluruhan tapi itu terdiri dari beberapa berita acara yang dilakukan secara parsial, karena tidak mungkin dilakukan secara keseluruhan.
Profil InstrukturSeng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D
Dosen Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan:
• S.T. in Civil & Environmental Engineering (Universitas Gadjah Mada)
• M.Sc. in QS/CCM (Universiti Teknologi Malaysia)
• Ph.D. in Built Environment/Construction Management (RMIT University)
Pengalaman:
• Construction: PT. Waskita Karya (2008 - 2014)
• Academic: Lecturer and researcher at Podomoro University (present)
• Association: KMKKI, IQSI
• Others:
• Writer of several books
• Reviewer for IJCM, JLADR, etc.