1. Pertanyaan dari Bapak Franciskus Setitit
Penjelasan Bapak tadi sangat bagus, cukup jelas dari sisi regulasinya. Kalau di kota-kota besar mungkin implementasinya cukup bagus, tapi kita di daerah ini agak sedikit susah. Saya juga kontraktor, jadi pada prinsipnya itu kalau apa yang Bapak jelaskan tadi semua, kalau itu di masukkan ke dalam perencanaan yang se-detail mungkin saya rasa mungkin materi yang Bapak sampaikan bisa terimplementasi secara baik. Tetapi, kita di daerah itu memiliki banyak pengalaman pahit. Dari sisi perencanaan saja, jangan yang hijau yang Bapak jelaskan dari tadi, tetapi pekerjaan-pekerjaan yang biasa saja. Dari perencanaan saja, mereka SDM nya tidak dipakai untuk merencanakan sesuatu, karena semuanya perencanaannya di atas meja. Owner-nya (pemiliknya) menggunakan yang punya perencanaan, punya izin, lalu mereka yang mendesain semua, sehingga agak repot kalau memang regulasi yang Bapak jelaskan tadi, apalagi ini rencana bangunan hijau. Bagaimana dengan pembebasan bahannya dan segala macamnya? Agak sedikit repot kalau kita di daerah untuk implementasinya.
Lalu yang kedua, barometer apa yang bisa kita mengukur, kalau dalam perencanaan saja itu tidak ada, lalu kita yang pelaksanaannya saja disuruh mengerjakan sesuai dengan yang Bapak jelaskan tadi. Itu yang mungkin selama ini kita di daerah, khususnya di daerah-daerah terpencil agak sangat berat karena kita yang konstruksi bangunan biasa saja, yang Bapak jelaskan tadi kita pusing dalam pelaksanaannya. Karena tidak ada item-itemnya, bagi saya di daerah-daerah ini agak sedikit berat. Mungkin seperti di provinsi-provinsi besar, di sana pengawasannya juga ketat dari sisi perencanaannya. Lalu SDM nya juga ada, orang ahli yang merencanakan. Kita di daerah ini tidak ada ahli, jadi memang agak sedikit repot.
Jawaban: Jadi pemerintah itu sebetulnya memahami ini bahwa proses untuk mencapai bangunan gedung hijau ini begitu complicated, dengan sekian banyak parameter yang harus dipenuhi. Di satu sisi yang namanya badan usaha jasa konstruksi tentu ingin mendapatkan profit yang cukup signifikan. Jadi apabila dua kutub yang kemudian seringkali saling bertabrakan. Bahkan dulu kita mendengar, kalau perlu low cost but high impact, modal sekecil-kecilnya material semurah-murahnya. Tapi ternyata undang-undang jasa konstruksi ini bukan hanya melindungi penyedia jasa tetapi juga melindungi dari pengguna jasa, bahkan user langsung. Oleh karena itu dengan jasa konstruksi itu kita juga melindungi konsumen, konsumen dari konstruksi yang dilakukan dan ini kemudian pihak pemerintah harus melindungi kedua belah pihak ini.
Oleh karena itu tadi saya tampilkan tentang matriks penggolongan bangunan gedung, tidak semuanya sifatnya diwajibkan atau sifatnya mandatory ada juga yang sifatnya baru disarankan, mengenai hal itu bisa dilihat di slide saya yang halaman 13. Yang kemudian tergantung tentang kompleksitas dan ketinggiannya, bisa dibayangkan kalau bangunan yang kemudian membutuhkan infrastruktur yang rigid kemudian pondasi yang benar, levelnya bangunan high rise building. Kemudian sifatnya masih disarankan atau sukarela itu tidak mungkin, kita harus memastikan bahwa itu dilakukan bangunan gedung hijau. Bangunan gedung hijau ini juga harus dipahami bahwa dia harus environment, harus ramah lingkungan, yang kedua dia high performance, dia harus benar-benar memiliki kinerja tinggi sebagai fungsi bangunan, yang ketiga harus sustainable. Jadi tidak ada yang dikesampingkan bahwa yang namanya bangunan gedung hijau itu harus ramah lingkungan tapi harus berbiaya mahal, itu tidak. Satu lagi kita menghindari kecelakaan konstruksi dan kegagalan konstruksi. Kalau tidak salah di tahun 2021 atau 2020 itu sudah tersusun tentang ahli penilai kegagalan konstruksi, kita menghindari itu. Terkait dengan spesifikasi atau kualifikasi yang akan melakukan bangunan gedung hijau ini, bahkan kita sudah mulai menyusun terkait dengan operator, kemudian teknisi atau analis bahkan sampai ahli jenjang tentang kompetensi yang melalui SKKN itu. Tadi saya sampaikan bahwa Indonesia ini untuk bangunan gedung hijau saja tahun 2015, tentu masukan dari badan usaha jasa konstruksi di daerah-daerah ini betul-betul dipertimbangkan Bapak Fransiscus, saya kira pelan pasti kita harus mengarah ke profesionalisme jasa konstruksi ini, semua harus diatur. Memang dengan banyaknya anggaran dari APBN, bahkan ini semacam seperti industri yang punya imunitas tinggi, pada saat waktu pandemi tinggi-tingginya, salah satu yang diperbolehkan jalan, akses di jalan raya itu industri konstruksi. Ini sebetulnya membuka peluang untuk semua saja bisa berkonstruksi. Tidak hanya orang-orang yang dari dunia sipil, dari teknik dan enginering. Bahkan kawan-kawan saya yang dari ekonomi, hukum bahkan masuk ke sini semuanya. Walaupun tidak semuanya mengikuti day today proses konstruksi, biasanya menang, kemudian dijual dipakai bendera yang penting ada kedekatan walaupun kita sudah melakukan e-catalog, procurement tapi masih ada saja. Tetapi di dalam peluang itu ada juga tantangan, tantangan bagi dunia jasa konstruksi. Ini kita berharap supaya semuanya betul-betul bisa rapih apalagi betul-betul banyak proyek infrastruktur yang dilakukan oleh presiden kita.
2. Pertanyaan dari Bapak Odhie
Terkait Green Building ini saya sebenarnya sudah pernah beberapa kali dapat webinarnya dan juga saya baru mulai mendalami. Kalau boleh tahu, Pak Ferry mungkin pengalaman Pak Ferry selama implementasi ini. Sebenarnya tahap sekarang ini di corporate atau di pemerintahan sebenarnya target penerapan Green Construction ini baru sekedar himbauan-himbauan saja dan seperti syarat bangunan gedungnya, sekian saja atau memang sudah mulai dipaksakan? Karena memang sejujurnya di Kementerian saya belum ada gaungnya, bahkan yang baru mulai sekarang difokuskan dari segi UKM dan produk dalam negeri. Sementara, seperti Green Building ini istilahnya masih mahal. Apakah barang yang mahal ini baru sekedar implementasi di PU saja, belum di Kementerian lembaga pemerintah lain? Seperti Bapak Fransiscus saja tadi di daerah, jangankan di daerah saya di Jakarta saja jujur masih kurang Green Building nya.
Jawaban: Saya baru ingat bahwa konsekuensi dari penerapan bangunan gedung hijau ini adalah kontrak yang dituangkan karena tidak hanya di gedung. Contoh di kementerian PUPR, Direktorat Jenderal Bina Marga itu bahkan ada jalan-jalan yang ditentukan bangunannya harus memenuhi bangunan jalan hijau, Green road, dan akhirnya terjadi temuan-temuan. Seperti yang tadi saya sampaikan, laporan dari awal saya bicara tentang bangunan berkelanjutan, kemudian bangunan gedung hijau itu tentu tidak terlepas dari yang ramah lingkungan. Yang ramah lingkungan itu apa? Kenapa kondisinya terjadi? Latar belakangnya apa? Salah satunya karena ada CO2, ada efek gas rumah kaca, itu perlu disampaikan karena pembukaan lahan terkait dengan perumahan yang jumlahnya luas, kemudian penggunaan alat berat yang menimbulkan efek CO2 itu betul-betul menjadi ancaman yang suatu saat pasti ada. Kita yang belum consern tentang ramah lingkungan tetapi di negara lain sudah menjadi going concernnya di situ.
Kemudian yang kedua lagi-lagi harus saya sampaikan bahwa bangunan gedung hijau sesuai dengan Permen PUPR nomor 2 tahun 2015 ini terbagi jenis bangunan yang dikenai persyaratan. Apakah ini kemudian sudah masuk kepada mandatori seperti misalnya bangunan gedung hunian. Misalnya untuk asrama atau hotel yang luasnya paling besar 300 meter persegi itu tidak perlu diterapkan secara wajib untuk memenuhi bangunan bangunan hijau. Kemudian di sini sudah diatur bangunan gedung dibawah 3 lantai atau di atas 4 dengan luas kurang dari 50000 meter persegi itu disarankan. Jadi selaku sipil negara di bidang terkait dengan tim pengadaan ini Bapak Odhie bisa lebih detail nanti melihatnya itu diterapkan untuk beberapa bangunan, hanya bangunan-bangunan yang sudah di rumuskan mana yang harus diwajibkan, atau sifatnya mandatory bukan sukarela atau direkomendasi. Apakah di Jakarta sudah dilakukan? Sudah ada beberapa yang dilakukan, bahkan mungkin di dunia akademik itu yang paling awal mendengar tentang perkembangan peraturan tentang PBG, tentang undang-undang jasa konstruksi yang baru saja itu pasti banyak yang belum "ngeh" di kalangan dosen. Artinya bahwa sosialisasi tentang peraturan ini kalah masif dengan sosialisasi misalnya undang-undang cipta kerja misalnya, ini memang fakta yang terjadi saya kira perlu untuk mulai bersiap diri apalagi kemudian concern dari Kementerian Keuangan terkait dengan material yang digunakan, material yang juga harus mengarah kesana. Sebetulnya bukan hanya memenuhi kriteria atau persyaratan, ini juga memenuhi kesehatan kalau misalnya Bapak Odhie kantornya di lapangan banteng pasti misalnya jauh daripada pinggir support daerah yang di Jakarta, di apartemen misalnya apartemen sudirman. Di sekitar itu tentu pasti memilih, misalnya plafon tidak yang gypsumnya terlalu banyak, dia akan memilih plafon yang tidak menimbulkan timbal, atau menggunakan partisi yang ramah lingkungan. Itu sebetulnya kembali ke kita supaya terbebas dari bahan-bahan materinya yang berpotensi meracuni kita dalam kurun waktu tertentu. Ini sudah ada bukti lab saya sendiri memiliki tenaga kerja ahli di pasang plafon, partisi belakangan kemudian masuk jadi beban saya menjadi BPJS Ketenagakerjaan, dia terkena penyakit paru-paru. Dalam jangka waktu itu kita harus melindungi pekerja kita itu, termasuk pengecatan tanpa melakukan penutupan. Ternyata bukan hanya melakukan penutupan tetapi zat yang ada terkandung di dalamnya termasuk dalam kategori yang dilarang. Kalau konsekuensinya ada biaya yang kemudian ditimbulkan inilah yang kemudian menuntut para stakeholder untuk para pembangun kepentingan dunia konstruksi bisa melakukan diversifikasi material yang murah tapi juga ramah lingkungan.
3. Pertanyaan dari Bapak Johan Wahyudi
Bagaimana menghitung sampah konstruksi dan bagaimana cara penanganannya?
Jawaban: Jadi volume sampah yang terjadi atau limbah konstruksi yang terjadi pada saat pelaksanaan konstruksi itu ada dua macam yaitu limbah konstruksi yang berasal dari material yang tidak terpakai, misalnya buangan beton, kayu, dll, dan yang kedua adalah limbah yang terkait dengan limbah rumah tangga pekerja itu ada yang tinggal disana itu juga menghasilkan produksi. Jadi ada riset yang dilakukan oleh mahasiswa USM kebetulan dari Indonesia dia mengambil 1 meter persegi kemudian dia taruh beberapa sampah yang kemudian dia memperhitungkan berapa 1 meter kubik yang memungkinkan untuk ada di tempat tersebut, kemudian dia mengalikan dengan jumlah luasan bangunan yang ada. Kalau bangunan 1 lantai, 2 lantai, tinggal mengalikan saja dengan jumlah 1 volume tersebut. Bahkan dia membaginya, limbah untuk tumpangan besi, tumpangan beton. Bayangin kalau ada yang datang ke lokasi proyek kemudian jumlahnya yang tersisa di molen itu harus terbuang, tidak boleh tersimpan di situ karena dia akan mengeras, itu juga dihitung, jadi ada banyak cara untuk menghitung. Atau kemudian seperti halnya kita menghitung waktu awal Ramadan atau awal lebaran, itu ada yang melakukan hitungan dengan Hilal. Ini kita juga bisa menghitung pada saat kita memesan material itu kita hitung dari RAB, dari rencana kemudian setelah growing kita hitung volumenya, volume betonnya, tulangannya, dan selisih dari itu bisa kita perhitungkan ini masuk dan tambahan material. Yang ketiga ada acara lagi itu menggunakan BIM, memungkinkan kita untuk mengetahui berapa besar. Jadi dari perencanaan kemudian di pelaksanaan bisa diperhitungkan itu, jadi ada 3 cara tersebut, bagaimana penanganannya? Ada banyak hal yang mulai dari simple ke yang berat tapi sebetulnya itu intinya awareness, awareness dari masing-masing enginer, dari masing-masing pelaksana di level yang paling rendah dan level yang paling tinggi yaitu level direksi di kantor pusat itu dengan melakukan peraturan regulasi. Cara penanganannya misalnya tiap laksana itu di level menengah memastikan untuk bangunan yang bertingkat misalnya di setiap lantai itu ada tempat sampah, kemudian ketika sampah yang di lantai tinggi itu disiapkan pipa besar yang kemudian bisa langsung masuk ke tempat sampah yang sementara disediakan, ini hal simpel yang kadang-kadang langsung buang saja tidak hanya menyampah kemudian tidak mempertimbangkan K3.
4. Pertanyaan dari Bapak Abdul Fatah
Bagaimana upaya untuk mewujudkan Green Construction tersebut?
Jawaban: Sebetulnya spirit dilakukan green construction ini untuk memenuhi efisiensi, jadi kalau kita bicara tentang sepakat bahwa green construction itu untuk ramah lingkungan, kemudian yang kedua berkelanjutan, yang ketiga juga melahirkan kinerja yang tinggi dari hasil proyek kita maka kita tentu ingin menghasilkan pekerjaan atau proses konstruksi yang efisien, aktivitas kerjanya juga terukur, awareness.
Ada 3 hal yang kemudian harus dilakukan sebagai upaya, yang pertama terkait dengan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah, itu artinya pemerintah sudah concern dengan dunia konstruksi tentang mewujudkan Green construction. Bagaimana langkah-langkahnya, Bagaimana penilaiannya melakukan peraturan itu sudah poin utama. Yang kedua badan usaha jasa konstruksi, baik penyedia jasanya, kemudian pihak pemerintah selaku owner itu juga harus concern, sama-sama pihak ini memenuhi peraturan yang dilakukan, sehingga pasti terwujud Green construction. Ketiga awareness dari masing-masing pelaku konstruksi, deploye konstruksi ini harus dilakukan, pelaksana juga harus awareness, peduli dengan proses konstruksi. Kemudian akademisi juga memberikan masukan apa saja yang memungkinkan dilakukan efisiensi material sehingga terjadi efektivitas penggunaan dan memberi masukan sub bagaimana supaya bangunan gedung yang ramah lingkungan dan murah dan itu dituntut untuk melakukan penelitian-penelitian yang biasanya dikatakan para kaum kampus intelektual ini teknologinya harus tepat guna. 3 poin tersebut setidaknya harus dipenuhi sehingga bisa dilakukan Green construction.
5. Pertanyaan dari Bapak Cakra Ahmad Sudrajat
Mengingat BGH ini mahal, sehingga bagaimana keuntungan oleh pemilik gedung?
Jawaban: Kalau kita misalnya tarik lagi ke tiga hal prinsip-prinsip dasar dari green construction yaitu high performance maka si pemilik gedung ini, baik pemilik gedung ini di komersilkan lagi atau tidak maka dia akan mendapatkan kualitas dan mutu bangunan yang tinggi. Kalau kualitas dan mutu bangunan tinggi pasti berimbas pada umur dari bangunan, tentu material yang digunakan yang terbaik yang tidak beracun maka high-performance disini artinya penghuni dari bangunan tersebut kalau misalnya non komersil, yang komersial si penghuni, penyewa manfaat gedung ini juga pasti lebih nyaman, karena yang namanya Green building itu diukur betul fisika bangunannya, arahnya, apakah udara yang masuk cukup artinya kaya udara atau kaya cahaya itu terpenuhi semua. Yang ke-2 sustainable, kalau sustainable bagi Bapak yang pengelola gedungnya kemudian bisa menyewakan maka tidak gampang rusak dan nanti bisa berkelanjutan, kalau berkelanjutan maka "cuan" keuntungan yang Bapak masukkan terus. Kalau saya menyebutkan beberapa apartemen di Jakarta, di daerah misalnya dekat Senayan itu sudah out of day itu artinya tidak sustainable secara ekonomi, tidak sustainable secara ekologi, 2 hal ini menjadi pertimbangan. Yang ketiga environment, bangunan gedung yang namanya ramah lingkungan itu, bukan hanya lingkungan hidup tetapi lingkungan tempat kita bersosialisasi. Lingkungan yang kemudian menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan ini tentu menimbulkan reaksi yang kadang-kadang tidak terduga, dari tetangga, dari pihak-pihak yang kemudian berhimpitan dengan kita. Artinya keuntungan yang didapat oleh pemilik bisa bertetangga dengan baik yang kemudian bangunan yang dihuninya, yang dimanfaatkannya tidak memberikan nyinyiran atau komentar yang tidak baik kepada gedung yang kita pakai.
6. Pertanyaan dari Bapak Joko Sutopo
Kalau personil menuju ke tenaga ahli Green Constraction itu ada langkah-langkahnya atau tidak seperti ada pelatihan lalu ada sesi-sesinya? Lalu yang mengeluarkan label itu dari mana ya? Apakah Kementerian atau dari pihak tertentu (instansi tertentu)? Atau sebagai persyaratan saja itu seperti apa? Saya tahunya, Green Building Concern Indonesia kalau tidak salah. Itu apakah sama atau beda? Kalaupun beda, nanti yang mengeluarkan sertifikat atau ijazah atau label itu dari pihak Kementerian atau instansi tertentu?
Jawaban: Jadi sebetulnya sudah pernah ada sertifikasi yang dikeluarkan yaitu SKA. Sejak semua LPJK itu ditarik tingkat nasional. Yang ada sekarang yang masih berlaku, masih bisa digunakan itu namanya Green Professional. Green Professional ini didapatkan dari lembaga sertifikasi profesi yang dikeluarkan oleh badan usaha yang ada di dalam, yang bernaung dibawah LPJK. Setelah LPJK dibawah langsung Kementerian PUPR maka nanti akan mengeluarkan LSP. Nanti insya Allah juga Asdamkindo juga memiliki LSP. Tadi disampaikan kalau LSPnya, semua pada sibuk untuk disassment oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Sekarang tengah disusun SKKNI, jadi SKKNI adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sertifikasi ahli profesi bangunan gedung. Sebetulnya sudah ada, itu ada SKKNI keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor 203 tahun 2015. Nanti Bapak Joko bisa download di sana, kebetulan penetapan standar kompetensi kerja Nasional Indonesia kategori jasa profesional ilmiah dan teknis golongan pokok jasa arsitektur dan teknik sipil dan uji teknis pada jabatan kerja penilai bangunan hijau. Tetapi dalam prosesnya, seperti yang ditampilkan di cover yang apa yang saya sampaikan, saya tengah bersama teman-teman menjadi tim perumus di Direktorat kompetensi dan produktivitas konstruksi di Dirjen Bina konstruksi. Itu menyusun apa saja yang harus dipenuhi, tinggal tergantung apakah untuk SMA, STM, dia harus lulus uji kompetensi di jabatan operator, kemudian kompetensi di level D3, S1 terapan itu ada teknisinya. Kalau kemudian gelarnya S1, S2 dengan syarat pengalaman kerja, kalau dokter minimal 0 tahun itu bisa nanti mengajukan uji kompetensi dengan kompetensi sebagai seorang ahli, yang mengeluarkan adalah LSP yang kemudian telah memenuhi dan dikeluarkan izinnya oleh LPJK. Jadi hasil yang dirumuskan dalam Direktorat kompetensi dan produktivitas konstruksi nanti kemudian melalui proses panjang diajukan ke Kementerian tenaga kerja. Dari Kementerian kerja dikeluarkan Kepmen dan kemudian itu diadopsi oleh beberapa lembaga sertifikasi profesi atau LSP. LSP itu untuk mengeluarkan pelatihannya, jadi otomatis SK yang ada sekarang, SK maupun SKT ketika masa berlakunya sudah habis tidak berlaku harus mengajukan SKA.
Ada Green building construction Indonesia, itu mengeluarkan sertifikasi itu dan melakukan pelatihan. Jadi indikator atau parameter penilaian bangunan gedung diambil dari Green building index yang dipunyai oleh Malaysia dan kemudian diadopsi menjadi prinsip di Indonesia. Dan selama ini teman-teman yang memiliki sertifikasi profesi sebagai Green profesional itu yang mengeluarkan dari itu, jadi pelatihannya dilakukan oleh GBCI yang mengeluarkan tetap LSPnya. Saya tidak tahu apakah pada saat itu LSP bekerjasama dengan GBCI.
7. Pertanyaan dari Bapak Daniansyah
Tentang AC central dan window, pertimbangannya apa yang dilakukan?
Jawaban: Hari ini saya melakukan webinar zoom itu di kampus, kebetulan kedatangan Sekjen dari Jawa Tengah. Untungnya AC-nya bukan kalau AC-nya Central maka kita harus menghidupkan satu lantai. Pertimbangannya dipilih itu tentunya salah satunya penghematan. Ini berbeda kasusnya dengan freon, freon itu ada R14, ada R macam-macam yang kemudian terkategori ramah lingkungan ada speknya tersendiri, tapi penggunaan AC saya kira AC window ini lebih memungkinkan untuk bisa dipilih karena ramah lingkungan terutama untuk rumah-rumah pribadi.
Profil InstrukturFerry Firmawan, Ph. D
Wakil Ketua Umum DPD ASDAMKINDO Jawa Tengah
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan
Program Sarjana 2000 - Teknik Sipil Universitas Diponegoro
Program Magister 2004 - Teknik Sipil Universitas Indonesia
Program Doktor 2016 - Teknik Sipil Universiti Teknologi Malaysia