1. Pertanyaan dari Bapak Bahrul Qamar
1) Apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan indikator tersebut? Atau mungkin ada kecocokkan SROI digunakan pada model bisnis seperti apa? Dan performance indicator seperti apa? Mungkin ada indikator-indikator lain yang mungkin bisa saya pelajari untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam impact social?
2) Terkait dengan referensi, saya sedang ada penelitian tentang bisnis sosial. Jadi, selain buku-buku Muh. Yunus dan beberapa jurnal, mungkin ada buku utama lainnya yang terkait dengan sosial bisnis?
Jawaban:
1) SROI (Social Return On Investment) memang menjadi salah satu parameter yang banyak digunakan para investor. Sebetulnya ketika terjadi krisis financial di Amerika tahun 2008 itu banyak investasi yang menganggur, yang tidak tahu para investor ini akan disalurkan kemana. Salah satu temuannya yang tadi saya singgung itu adalah bahwa bisnis yang mendapat social itu memiliki kinerja yang baik dan menjadi perhatian para investor untuk dia menanamkan investasinya di kegiatan bisnis yang seperti itu, maka terus muncul yang namanya Social Fanger Capital pada era tahun 2010-2012 itu marak sekali, bagaimana bisnis social bisa didukung oleh investasi yang semi komersial, artinya dana investasi tetap harus kembali dan juga pada tingkat tertentu investasi itu harus memberikan nilai tambah bagi investornya. Dalam konteks itulah muncul SROI, fungsinya untuk membantu para investor untuk melihat bagaimana kegiatan bisnis ini dari kegiatan social yang dilakukan itu bagaimana itu akan berdampak kepada pengembalian nilai keuntungan/output yang dihasilkan. Tapi tentunya SROI ini bukan suatu yang bisa terjadi begitu saja, menurut saya memang mereka yang bisa memutuskan SROI yang baik itu adalah mereka yang sudah mulai dengan mengukur sosial performance indicatorsnya. Oleh karena itu mengapa SROI ini sangat kuat digunakan di Lembaga-lembaga keuangan mikro? Karena mereka sudah biasanya dengan pendekatan sosial performance indicator, mereka sudah terbiasa dengan mengukur indicator kinerja sosial mereka, sehingga ketika itu di adopsi ke SROI, mereka tidak banyak kesulitan, karena sistem sudah terbentuk. Jadi, saya rasa menjadi salah satu trend kedepan, bahkan saya pernah hadir di salah satu forum di Filipina, ketika itu ada ide untuk menciptakan bursa saham untuk bisnis sosial, dan kebetulan di Filipina sedang dibahas di parlemen. Kemudian itu menjadi pembahasan, ini sempat menjadi agenda di Kementrian Keuangan kita , ketika zamannya Pak. KT basri, bagaimana memunculkan bursa saham tersendiri untuk bisnis sosial.
2) Salah satu yang mutakhir itu salah satunya Buku Muh. Yunus yang tentang sosial bisnis. Kalau ingin masuk ke akarnya lagi dari sosial bisnis tentang sosial entrepreneurship ini buku berjudul “How to Change a World”, ini buku yang sangat lengkap untuk melihat bagamaina para pembaru sosial itu mau mengadopsi pendekatan-pendekatan entrepreneurship untuik menjawab masalah sosial. Buku lainnya adalah buku yang ditulis oleh Famili Hartikan, judulunya adalah Unreasonable people, kira kira tahun 2008, kalau kita mau merujuk ke sosial bisnis, kepada ke 3 buku itu. Tentunya sekarang banyak referensi baru tentang sosial bisnis yang bisa menjadi rujukan, tapi kalau bapak ingin mendapat informasi tentang fundament atau akar dari sosial bisnis itu mungkin 2 buku itu bisa memperkaya.
2. Pertanyaan dari Bapak Erik Alves
Apa perbedaan negara maju dan negara berkembang dalam menyelesaikan permasalahan sosial dan menentukan kebijakan untuk ekonomi nasional dan global?
Jawaban: Ada komitmen global, dan juga komitmen bahwa setiap negara itu harus bisa memobilisasi sumber daya ekonominya secara efisien, oleh karena itu mengapa pajak karbon ini menjadi konsekuensi atau suatu keharusan yang harus diterapkan di semua negara, untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi dan bisnis di negara itu semakin efisien, semakin ramah lingkungan dan juga mendorong green bisnis dan green economy tadi. Di tingkat komitmen itu kita memiliki hal yang sama, barangkali dalam prakteknya ada perbedaan, misalnya negara-negara maju, negara-negara yang industrinya memang sangat besar. Itu pasti masalah mereka terhadap emisi CO2 tentu lebih besar daripada kita.
Kita lihat di negara-negara besar itu komitmen untuk mendorong energi terbarukan sangat tinggi, tapi ini juga bukan hal mudah, kita lihat misalnya Eropa yang sudah siap dengan energi terbarukan tapi karena adanya perubahan iklim ini jadi tidak jelas pemanfaatan energi angin, karena anginnya bukan angin barat tetapi angin timur sehingga tidak bisa menggerakkan turbin, ini juga menjadi masalah. Kita lihat ada krisis energi (batu bara) di Eropa karena mereka sudah memastikan bahwa ini sudah bisa di transformasi ke energi terbarukan tapi anomali iklim membuat transformasi ini terganggu.
Saya rasa ini adalah konsekuensi ketika ekonomi kita digerakkan oleh cara-cara konfensional, bagaimana pasar itu tumbuh caranya adalah membanjiri pasar itu dengan produk barang dan jasa, produk barang dan jasa itu terjadi karena terjadinya industrialisasi, persoalannya adalah kita tidak pernah menghitung proses industrialisasi ini akan memberikan dampak lingkungan seperti apa. Berkurangnya SDA kita, cadangan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup kita, dst. Pernyataan Ibu Sri Mulyani itu saya rasa pernyataan tegas dari pemerintah bahwa kita mau tidak mau harus masuk ke gen ekonomi karena, kalau pajak karbon diberlakukan itu artinya mau tidak mau bahwa dunia usaha harus menyesuaikan dengan cara-cara lebih ramah lingkungan, lebih kepada aspek ekonomi yang berkelanjutan, diluar itu saya rasa memang ini menjadi komitmen kita bersama, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun cesar bisnis, karena dengan cara-cara kemitraan saya piker kita bisa menciptakan prosedur-prosedur yang lebih sederhana. Misalnya contohnya, di kelas saya, saya meminta mereka untuk membuat model bisnis yaitu sustainable bisnis dari bahan-bahan yang bisa di recycling,dan ide-idenya banyak sekali. Tetapi, terus terang kita bicara bahwa itu tidak mudah dilakukan, karena masalah akses teknologi, akses pembiayaan, dsb. Tapi kita bisa mengatakan bahwa itu bisa dilakukan, karena ketika kita bisa bermitra, ketika ada orang mendorong untuk membiayai penelitian tentang itu dan dia bisa membiayai agar bagaimana itu menjadi start up, maka ini bisa dilakukan. Kuncinya di partnership, prospek untuk itu menurut saya cukup besar, tapi bagaimana kita membangun kemitraan untuk mencapai itu.
Profil InstrukturWahyu Indriyo, S.E., M.A.B
Dosen Entrepreneurship Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan
S2 – Magister Administrasi Bisnis, Unika Atma Jaya, Jakarta
S1 – Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Unika Parahyangan, Bandung
Pengalaman Kerja
2020 - sekarang, Dosen matakuliah Princiiple of Microeconomics dan Sustainable Business, Prodi Kewirausahaan, Universitas Agung
Podomoro
2009 - 2017 Dosen (team teaching) Blok Healthcare Entrepreneur, Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran, Unika Atma Jaya, Jakarta.
2000 – 2007 Dosen mata kuliah Ekonomi Makro, Sejarah Ekonomi dan Bisnis, Uang dan Bank, dan Analisis Kebijakan Publik, Fakultas
Ilmu Administrasi Bisnis dan Imu Komunikasi (FIABIKOM), Unika Atma Jaya, Jakarta
PENELITIAN SOSIAL (terseleksi) :
KETERLIBATAN DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS :
PUBLIKASI BUKU (terkait dengan Bisnis dan Dampak Sosial)